Hampir di segala bidang kita sering menggunakan parameter yang ngawur dalam menilai. Seperti saat pemilihan Caleg, Cabup dan Ca Ca lainnya. Parameter calon pemimpin yang layak dipilih adalah yang nyumbang pembangunan jalan, Poskamling dan sarana umum lainnya. Rakyat tak mau tahu kalau duit sumbangan itu sebenarnya dalam rangka membeli suara.
Saya masih bingung sampai sekarang bagaimana dulu tanaman Jemani bisa berharga ratusan juta. Terkena radiasi darimana otak kita, sampai mendewakan tanaman yang bentuknya sangat sederhana. Kalau Bonsai sangat layak harganya mahal. Karena membutuhkan sentuhan seni, kesabaran dan waktu yang lama untuk membentuknya.
Sadar nggak sadar kita pernah gemblung berjamaah. Manusia gemblung di saat yang gemblung berada di jaman gemblung. Gemblung bersatu tak bisa diarahkan.
Kita terbiasa menggunakan parameter nilai seseorang atau sesuatu bukan karena terbaik. Tapi karena terbanyak sogokannya, terkenal, tercantik, terseksi, terunik dan ter ter yang lain. Sehingga artis yang cantik nan seksi pun pada Nyaleg, padahal saat diadu debat visi dan misinya, gelagepan. Modal utamanya cuman populer.
Ada orang yang dianggap berprestasi cuma karena goyangnya yang heboh. Sampai menginspirasi orang lain untuk bergoyang lebih heboh lagi : goyang ngebor, goyang ngecor, goyang itik, goyang gemblung. Ada juga yang dielu-elukan lantaran doi polisi yang pinter joget ala artis Bollywood. Bahkan ada yang terkenal karena sebuah prestasi : nyanyi Lipsync di Youtube.
Tapi biasanya orang-orang yang terkenal lewat cara instan tersebut nggak akan bertahan lama. Puncak prestasinya adalah saat jadi bintang iklan So Nice.
Karena parameter yang salah dalam menilai itulah akhirnya banyak orang yang 'kesasar'. Ingin terkenal dengan cara se-instan mungkin. Haus eksistensi dan puja puji. Ikut audisi kontes-kontesan di TV. Berburu penghargaan prestasi dari MURI (Museum Rekor Indonesia ; kata 'rekor' dari kata 'record' = rekam, di-Indonesia-kan malah jadi salah kaprah). Lembaga ini memberikan prestasi untuk rekor (dengan parameter) terbanyak, terbesar, terpanjang, tertinggi, tercepat, bukan yang terbaik.
Sebenarnya lucu kalau orang mengharapkan penghargaan (prestasi) dari MURI. Padahal MURI sendiri belum pernah mendapatkan penghargaan atau prestasi. Lembaga ini tidak memberikan perhargaan prestasi berdasarkan kwalitas yang sifatnya intelegensi. Apalagi untuk dapat penghargaan tersebut harus setor sejumlah uang yang tak sedikit. Jadi MURI adalah lembaga yang jualan prestasi dongg..??
Saya tidak sedang mendiskreditkan MURI. Dalam hal tertentu penghargaan dari MURI memang baik dan tepat. Misal pencatatan rekor buat orang yang telah 50 tahun berjasa melestarikan budaya ludruk. Orang tersebut hampir tiap malam manggung dengan honor kecil. Prestasi di sini adalah pengabdiannya, tapi soal ngeludruknya belum tentu yang terbaik.
Atau juga penganugerahan rekor nggoreng nasi dengan koki terbanyak. Setelah itu nasi goreng disalurkan ke Panti Asuhan Yatim Piatu. Dari segi sosial, kegiatan itu sangat berkwalitas tapi nasi goreng yang banyak tadi belum tentu nasi goreng yang terbaik.
Bagi saya prestasi itu bukan main drum 5 hari nonstop, kuat nggak makan seminggu, betah tahan nafas 3 hari, mampu memiripkan wajahnya dengan berbagai jenis hewan. Prestasi itu suatu keberhasilan yang dicapai karena memaksimalkan akal pikiran dan usaha keras yang terus menerus (bukan karena okol, tampang dan uang). Dan keberhasilan itu bermanfaat bagi diri dan orang lain.
Bahkan usaha yang terus menerus untuk mencapai keberhasilan (sukses) itu juga prestasi, walaupun nggak berhasil. Yang dinilai itu usahanya. Manusia tidak diwajibkan berhasil tapi diwajibkan berjalan di jalan yang lurus sesuai perintah-Nya. Subhanalloh...(sori ngUstadz)
Tapi memang MURI ini mengadopsi etos kegembiraan orang Barat. Rekor yang dipecahkan biasanya yang sifatnya euphoria, unik dan kreatif. Yang penting hepi, sukur sukur kalau ada manfaatnya.
Ada lagi yang membuat saya tepok jidat. Yaitu ketika ada seniman gambar atau lukis potret yang mengharapkan prestasi dari MURI untuk rekor menggambar wajah dengan cepat. Oala..bagi saya, sebuah karya seni (dalam hal ini, lukisan potret) dinilai karena kwalitas karyanya bukan karena penggarapannya (proses) yang cepat. Walaupun bisa menggambar cepat itu bagus juga, tapi tetap hasil akhirlah yang menentukan, elek opo mblendesss.
Itu boleh-boleh saja. Untuk sebuah promosi dan eksistensi memang baik juga. Nama akan cepat meroket, terkenal. Tapi etos kerja grasa grusu macam begitu nggak baik (IMHO). Mending ambil jalan tengah, nggak terlalu cepat dan nggak terlalu lama, sedang-sedang saja. Bagi saya, karya lukis potret yang sempurna tidak dikerjakan dalam waktu sejam atau 2 jam saja. Kecuali lukisan potret wajah abstrak.
Karena itulah, saya nggak sepakat kalau lomba mewarna atau menggambar pada anak TK atau SD cuman diberi waktu 2 jam. Mana bisa menghasilkan karya epic kalo nggambarnya gedandapan koyok diuber setan. Nggambar jari tangan malah jadi Wortel. Nggambar gitar jadinya Duren. Oalaa..
Di lingkungan Kompasiana pun masih banyak yang menilai sebuah prestasi seorang Kompasianer dilihat dari kwantitas tulisannya. Bahwa siapa yang tulisannya paling banyak (dalam waktu yang singkat) itulah penulis yang ciamik. Atau penulis yang hebat adalah yang bisa menulis 1 hari 15 artikel. Nulis nganti sak ndlosore...
Semua penulis pasti bisa, kalau dipaksa menulis sehari 1 artikel. Cuman saya nggak melakukan itu, walaupun itu baik juga karena akan mempertajam skill. Tapi saya selalu berusaha menulis dengan hati. Menikmati setiap gores huruf, kata yang saya tulis. Yaaa kayak orang bercinta begitulah...dinikmati kalem-kalem, oh yesss. Gak usah kesusu dik..
Walaupun nulis itu sebuah hobi tapi kalau sudah jadi rutinitas akan membosankan juga. Akhirnya nulis cuman ngejar target (terlanjur bersumpah sih). Tapi yang pasti tiap orang punya background, kesibukan dan kepentingan yang berbeda. Ada yang memang kerjanya nulis, ada yang nulis cuman pas mood doang dan sebagainya. Tak bisa dipukul rata.
Jadi menurut saya , menilai penulis itu hebat atau tidak, tidak bisa menggunakan parameter dari banyaknya tulisan.
Dan saya nggak akan mbahas mana tulisan yang bagus dan mana yang mblendes. Itu relatif bianget. Semua tergantung pada selera, kecerdasan, trend dan subyektifitas penilainya. Saya bukan orang hebat. Kalau saya bilang, itu bagus ini jelek, tentu saja berdasar selera dan pengetahuan saya yang terbatas Tidak berdasarkan pada teori akademis kognitif empiris. Ingat : Saya bukan penulis, saya ilustrator...oala menengo wis, cukup.
Yo wislah, kalau begitu tulisan ini saya hentikan saja. Kesimpulanya saya serahkan pada anda. Mulailah menimbang ulang nilai-nilai, paradigma dan stigma yang beredar di masyarakat. Belajar jernih atas diri kita sendiri, nggak terseret ikutan trend yang 'sakit'.
Â
-Robbi Gandamana-
30 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H