Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Aib yang Menginspirasi

18 September 2015   17:32 Diperbarui: 18 September 2015   18:08 1859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disamping bukan gaya saya, juga nggak enak sama Ustadz yang bilang begini : 
"Jangan memberitakan (menyebarluaskan) kesedihan (musibah), kejelekan atau aibmu atau saudaramu ke masyarakat umum." 

Padahal saya punya banyak sekali bahan tulisan soal itu. Di keluarga besar saya sendiri, di lingkungan sekitar rumah maupun di kantor.  Ada seorang Office Boy kantor saya yang mantan guru SMA. Tapi nggak saya tulis, sungkan sama anaknya, mantan istrinya yang mungkin malu bila ketahui oleh umum. Sebenarnya kalau ditulis bisa jadi sinetron, judulnya "Ratapan Anak Bombay". 

Dulu, banyak sekali acara TV yang mengupas orang susah, menjual kesusahan.  Mengeksploitir kesusahan mereka secara vulgar untuk kepentingan rating. Begini ya Mblo, Kalau menemukan orang miskin, kasih saja bantuan semampunya. Nggak perlu dipertontonkan, yang bisa jadi malah bikin malu keluarga tersebut. Kecuali yang sifatnya urgen, seperti orang miskin yang sakit akut yang butuh bantuan dana. 

Ada memang kisah sedih yang inspiratif tentang kakek yang tetap semangat jualan amplop. Atau kisah nenek 109 tahun yang menjual kacang di Stasiun Tugu Yogya. Kalau tulisan model begini sih bukan aib, tapi malah membanggakan. Sudah tua tapi semangat kerja dan tidak meminta-minta. Juga ada kisah Desi (17) penjual Slondok demi biaya sekolah di Yogya.  

Jadi tidak mengeksploitirnya dengan menampilkan kehidupan sehari-hari secara vulgar. Diperlihatkan saat makan sama nasi yang hampir basi. Atau tidur di dekat kandang kambing dan seterusnya.

Kalau boleh ngasih saran, janganlah menggadaikan martabat keluarga ente atau saudara ente untuk sebuah tepuk tangan, voting atau hadiah uang jutaan. Itu jelas nggak sepadan. Seandainya memang ditulis, pakailah nama-nama fiktif atau disamarkan. Atau ceritakan seolah-olah itu bukan kisah anda.

Untuk apa penghargaan tinggi kalau membuat anda, anak anda atau keluarga anda malu. Bisa jadi kayak kasusnya Kevin Carter, fotografer yang memenangkan hadiah Pulitzer yang akhirnya bunuh diri, malu karena di-bully jutaan orang. Hasil jepretannya menggambarkan anak kelaparan yang dihampiri oleh seekor burung pemakan bangkai. 

Jangan diartikan saya mendiskreditkan atau kontra pada penulis 'kisah hidup' mewek tadi. Sama sekali enggak, anggap saja ini saran (kalau bisa disebut begitu). Pokoknya tetep semangat nulis ...!

Wis ah..trims

18 September 2015
Robbi Gandamana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun