Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perploncoan Itu Kecil.....!

30 Juli 2015   18:06 Diperbarui: 12 Agustus 2015   03:46 2822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sialnya, Barat selalu berhasil mengelabui kita dengan trik busuk yang bisa mengatasi ketangguhan itu. Salah satu contoh adalah perubahan sistem olahraga Bulutangkis : Dulu Endonesah selalu berjaya dalam olah raga ini. Sistem lama memang sangat membutuhkan stamina dan ketangguhan yang luar biasa. Kita mampu mengatasi itu. Barat tahu itu, maka diubahlah sistem klasik dengan sistem Rally Point (yang paham bulutangkis pasti tahu..saya sendiri nggak begitu paham huwehehe) Dan sejak saat itu di setiap kejuaraan bulutangkis, Endonesah merongos jaya. 

Jangan terlalu dibesar-besarkan berita korban perploncoan yang meninggal atau luka serius. Itu cuman polesan media. Sekarang bandingkan saja yang meninggal dengan yang tidak. Bisa jadi 1 : 10 juta bahkan lebih. Itu kebanyakan karena humor error. Lha wong orang lemah dan sakit kok diplonco. Senior gemblung!

Kalau ada yang bilang Perploncoan adalah warisan kolonial Belanda untuk merendahkan siswa pribumi pada saat itu..memangnya kenapa? Ambil saja, makna dan manfaatnya. Di-regulasi lagi. Perploncoaan yang terjadi sekarang tidak bertujuan merendahkan. Banyak yang setelah itu malah akrab dan kelak jadi kenangan yang patut dikenang. Setelah lulus kita bakalan sadar bahwa dunia pasca sekolah/kuliah lebih kejam dari perploncoan yang cuman 6 hari itu. Perploncoan itu cuman seujung jari dari kerasnya hidup yang harus dihidupi.

Memang ada jenis perploncoan yang diluar batas kemanusiaan. Misal dulu di STPDN, juniornya dijadikan sansak hidup oleh Seniornya. Bahkan setelah MOS berakhir pun, mereka tetap melakukan kekerasan. Jancok! Saya jelas nggak setuju dengan ini. Kill em all!!!! Dan saya sempat bikin status di Facebook : "Tolak pimpinan, lurah, camat, bupati, walikota atau Caleg lulusan STPDN..!"

Kalau yang ditakutkan dari per-ploncoan adalah timbulnya dendam yang akan dilampiaskan pada juniornya kelak..Nggak masalah! Selama regulasi dan sanksi MOS jelas, silakan lampiaskan dendam. Mereka nggak bisa keluar dari jalur batas yang telah disepakati oleh rektor atau yang pimpinan tinggi kampus atau sekolah bahkan negara. Berani melanggar, sanksi berat menunggu. Sakarepmu..makan itu dendam!

Jadi sekarang formula dan regulasi per-ploncoan itu saja yang dibenahi. Nggak perlu dihapus. Apa kalau ada pesawat terbang jatuh dan menewaskan banyak penumpangnya terus penerbangan pesawat dilarang. Juga kereta api yang dulu sering anjlok atau kecelakaan karena lupa nutup palang. Nyatanya kereta api tetap nggak dilarang. Begitu juga dengan gas elpiji 3 Kg, sudah sering makan korban tapi tetep beredar sampai sekarang. Kita lihat dulu prosentase resiko buruk dan manfaatnya. Lebih besar yang mana?

Juga jangan terlalu takut dengan resiko psikologi yang dihembus-hembuskan oleh orang barat. Konon manusia Indonesia adalah manusia hibrida plus..nggak ada rumusnya! Mereka kuat dan tangguh menjalani hidup hanya dengan niat dan sugesti-nya. Teori kesehatan, psikologi atau apa pun yang datangnya dari barat banyak yang nggak cocok dengan bangsa ini.

Pasukan Amerika nggak akan berani masuk ke Indonesia. Kalau masuk ke Jawa, dia akan jatuh cinta sama orang Jawa. Begitu juga dengan suku yang lain. Konspirasi Yahudi atau konspirasi apa pun nggak mudah masuk ke sini. Karena rakyat Endonesah itu nggak jelas, nggak ada rumusnya. Sekali waktu memang kesasar ke Jonru, ke Komunitas Ayah Edy, Felix Siauw, Tere Liye, MLM, K-Pop, uakeh pokoke..tapi itu sifatnya temporari.

Mereka akan tetap jadi rakyat Indonesia, nggak bakalan jadi Barat, Arab atau lainnya. Tetep ngobong menyan, tetep slametan, baca primbon dan seterusnya. 350 tahun dijajah Belanda, bahasanya tetap bahasa Jawa (nggak paham sama sekali bahasa Belanda) dan budayanya nggak berubah blasss sampek saiki.

Teori '4 sehat 5 sempurna' pun nggak dipakai lagi, karena memang nggak singkron dengan bangsa kita yang super tangguh ini. Pernah tahu nggak orang yang menjajakan dipan kayu hanya ditenteng dipundak, berjalan kaki keluar masuk kampung. Atau menjajakan kursi panjang kayu beberapa tumpuk di jok sepeda onthel..?

Terserah opini anda, tapi memang bangsa kita adalah bangsa yang kuat. Hidup mereka adalah plonco itu sendiri. Jadi jangan kehilangan aset itu. Karena itulah rakyat Endonesah nggak gampang dipatahkan. Nggak gampang putus asa. Mau gagal atau sukses, monggo-monggo saja. Kalau bangsa lain mungkin sudah bunuh diri. Tapi Rakyat Endonesah rilek-rilek saja malah banyak ketawa-ketiwi. Piss man..!

Kalau menurut HAM, Carok itu dilarang...Kenapa? Karena yang melarang nggak berani melakukan Carok. Carok itu bagus! tapi saya tidak menganjurkan anda untuk Carok. Tapi jadikan ini simulasi berpikir saja. Karena Carok-lah orang Madura punya kedaulatan dan kemandirian (saya bukan orang Madura lhoo). Orang akan berpikir 2 kali untuk bikin gara-gara.

Kalau boleh ngasih saran : Jadikanlah HAM itu alat kontrol, nggak perlu terlalu berlebihan menyikapinya. Hukuman fisik atau sentuhan fisik kadang diperlukan untuk menerapkan hukum atau disiplin. Dan Hukum itu memang harus dipaksakan. Nggak bisa dengan mulut, tamparan pun melayang. Dalam agama pun boleh (malah dianjurkan) memukul kaki anak pakai kayu bila si anak tidak mau sembahyang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun