Jika dibandingkan dengan perjalanan-perjalanan sebelumnya, maka tentu semua punya tantangan. Tapi kali ini dirinya sendiri hampir menyerah karena berhadapan dengan rasa takut dan dilema.
"Bagaimanapun saya adalah seorang ibu, dan saya punya bayi dan dari kecil tidak pernah saya titipkan pada siapapun. Saya dan suami berkomitmen untuk dapat berbagi peran membesarkannya berdua saja. Maka jadilah dilema apakah bayiku ini bisa bertahan melalui medan Korowai yang berat? Tapi disisi lain kalaupun dia terpaksa kami tinggalkan (dititip) bersama kakek neneknya, apakah anak ini tidak akan stress karena mendadak berpisah dari ibunya dalam jangka waktu lama? Dan lagi dia masih ASI dan tak terbiasa dengan susu formula. Maka kamipun bulatkan tekad bertiga ke Korowai,"ujar Dian.
Dan setelah melalui perjalanan panjang dua kali ganti pesawat (salah satunya pakai pesawat kecil yang cuma isi 12 orang) lalu kami bermalam di Danuwage. Beruntung di Danuwage kami bisa menginap dirumah Pendeta Trevor Johnson seorang misionaris berkebangsaan Amerika yang melayani di daerah Korowai Batu.
Selanjutnya dengan menggunakan perahu ketinting selama 3 jam lebih menyusuri Sungai Dairam Kabur yang berjeram deras, lalu masih harus berjalan kaki membelah hutan dan rawa Sagu sekitar 4 jam untuk sampai ke dusun lokasi pesta Ulat Sagu. Begitupun perjalanan pulang kembali ke Danuwage.
"Sungai berarus sangat kencang namun dangkal, hingga menyulitkan baling-baling mesin ketinting berputar dalam air. Padahal sebelum suami saya sudah harus berjalan didalam hutan sambil menggendong bayi kami,"kisahnya. Tapi memang perjalanan ini luar biasa dan saya sangat bersyukur karena selama mengikuti kegiatan ini, anaknya sangat menikmati perjalanan.
"Dan anak saya sangat senang bermain dengan teman-teman barunya di Korowai. Dia juga sangat menikmati makan-makanan lokal disana, karena perjalanan ini juga bukan hanya membangun ikatan dalam hubungan ini menjadi lebih kuat, tapi juga kami bisa saling memahami satu sama lain, dan terlebih buat buah hati kami. Tapi kami sebagai orang tuanya berharap pengalaman ini akan membantu memberikan dia warna dan mempengaruhi cara pandangnya terhadap dunianya kelak, "ujarnya. Ungkap dian, sampai sekarang dia masih sering bilang, "mama- naik perahu di Korowai" atau kalau lihat foto anak-anak di Korowai dia akan bilang "teman, ma teman"
Pembangunan
Diungkapkannya soal perjalannya ke Korowai, satu hal yang harus kita tanamkan dalam pikiran kita adalah bahwa pembangunan itu untuk rakyat bukan untuk pemerintah, pemerintah tidak akan ada tanpa rakyat. Dan kita semua menghendaki pembangunan, namun pembangunan yang bagaimana? Tentu pembangunan yang tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan menyebabkan masyarakat menjadi miskin diatas tanahnya sendiri. Coba kita pikirkan apakah berguna semua gedung mewah, peralatan canggih, mobil supermahal jika air tidak ada dan nafas sesak karena udara tercemar, apakah sepadan semua itu?
Lebih parah lagi jika kemudian masyarakat malah saling benci karena ada investasi mengatasnamakan pembangunan. Jadi intinya pembangunan haruslah pembangunan yang berkelanjutan, pembangunan yang memanusiakan manusia.
"Yang meletakan keadilan antar generasi sebagi pertimbangan utama, bahwa apa yang bisa kita nikmati saat ini haruslah bisa dinikmati oleh generasi nanti. Kita bisa belajar dari orang Korowai mengelola alamnya. Bagaimana menghemat sumber daya yang ada tanpa jadi pelit karenanya. hal yang baru 2013 lalu UNEP canangkan Think, Eat and Save. Hal lain yang saya pikirkan adalah Korowai sendiri harus dibangun dengan menggunakan kekuatan budaya mereka sendiri, dan itu harus digali. Dan keterlibatan mereka harus benar-benar dirancang dengan tepat sebab sejatinya suku ini karena tidak punya sistem kepemimpinan tetap dan tidak biasa "diperintah" oleh orang lain maka harus dicarikan formula agar semua bisa terorganisir dengan baik,"ujarnya.