Mohon tunggu...
Rob Januar
Rob Januar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sedang menikmati pagi senja kolong Jakarta...rock on!!!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kalau Jurnalis "Dolanan"

20 Juni 2013   22:38 Diperbarui: 20 April 2016   01:18 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_250235" align="alignnone" width="650" caption="Lima anggota Komunitas Hong serempak memperagakan Babalonan Sarung, sebuah permaianan tradisional dari Jawa Barat. (Dok. Robjanuar)"][/caption] Ada yang sudah pernah lihat tampang (sok) sangar jurnalis kalo lagi ngejar berita?? Yang tak segan mengeluarkan jurus ampuh mulai dari "ilmu ID Pers" sampai auman maut "Anda menghalangi tugas jurnalis!" kalo bertemu "rintangan" kelas berat? Nah, kesan itu akan buyar seketika kalau Anda ada bersama saya menyaksikan 30 jurnalis belajar dolanan di Journalist Camp yang diadakan di Gunung Pancar, Sentul, Rabu (20/6) sampai Kamis (21/6). Jelas buyar, ini kumpulan orang-orang yang biasa ngacak-acak Markas Polri sampai gedung DPR, bisa-bisanya jingkrak-jingkrak ngakak-ngakak gara-gara dolanane cah bayi.

Sebentar, kok saya ga ngajak-ngajak? Ngga, lha wong saya juga diajak je. Teh Kotak mengajak jurnalis dari radio, tv, media cetak, dan online diajak mengasingkan diri dari kota untuk mengenal alam lebih dekat (atau lebih jauh?)

[caption id="attachment_250238" align="alignnone" width="650" caption="Zaini Alif (Dok. Robjanuar)"]

1371740745977632209
1371740745977632209
[/caption] Ya, dekat dengan alam bisa dilakukan lewat bermain. Zaini Alif yang mengatakan hal tersebut. Kang Zaini adalah seorang aktivis permainan tradisional dari Bandung. Dia membina Komunitas Hong yang bermarkas di Taman Bermain, Dago Pakar, Bandung. "Tujuh Lubang dengan satu lubang besar sebagai lumbung, dalam bahasa Sunda disebut Leuit, di permainan Congklak melatih anak untuk berstrategi dalam mengumpulkan uang, bijak dalam membelanjakannya, dan tidak lupa menabung," ungkap Zaini. Zaini mencontohkan pembelajaran dalam Congklak dan Engklek, dua permainan anak yang populer di kalangan bocah yang lahir sebelum era 90an. (Walaupun beda tipis, jujur saya termasuk kalangan itu) "Di Amerika, ada satu sekolah yang melestarikan ubin bergambar permaian engklek dari abad ke-14. Sementara, Engklek di Brazil mengenalkan anak tentang konsep dunia dan surga. Di Indonesia, Engklek yang dimainkan dengan lebih banyak variasi, mengajarkan anak strategi untuk berinvestasi sekaligus berempati terhadap orang lain," paparnya.

Setelah saya pikir-pikir, iya juga ya. (Saya lupa kapan terakhir kali saya mikir sebelum ini)

Meskipun sudah berhasil mendokumentasikan sedikitnya 2500 jenis permainan tradisional, saking cintanya dengan permainan tradisional, Kang Zaini, saat ini getol mendokumentasikan jenis-jenis aktivitas tradisional anak di Suku Badui Dalam, satu dari sedikit suku yang melarang anak-anak bermain! Di tengah kesibukannya bermain, Kang Zaini rupanya berhasil mengentaskan pendidikan beberapa anak asuhnya di Komunitas Hong. "Anak-anak yang main musik itu semua sudah sarjana," ujarnya sambil menunjuk sekelompok anggota Komunitas yang datang bersamanya di acara. Kalau Kang Zaini dekat dengan alam lewat "Dolanan" tradisional, Cahyo Alkantana memilih dolan blusukan ke pantai, laut, dan gua. [caption id="attachment_250241" align="alignnone" width="650" caption="Cahyo Alkantana (Dok. Robjanuar)"]

13717410632071250398
13717410632071250398
[/caption] Cahyo yang hadir di Journalist Camp sebagai pembicara terakhir berkisah tentang pengalamannya mencintai lingkungan dan masyarakat lewat kecintaannya pada kegiatan avonturir. Olahraga bergenre "darwis", modhar yowis, seperti menyelam dan menjelajah gua, jadi medianya mencintai lingkungan. Perjalanan melanglang buana membuat berbagai film dokumenter lingkungan ke berbagai penjuru Indonesia dan dunia ternyata menuntun Cahyo pulang ke kampung halamannya, Yogyakarta. Tertantang untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi lingkungan dan masyarakat Jogja, Cahyo memutuskan membeli sebidang tanah kars gundul di Gunung Kidul, menghutankannya kembali, lalu menghidupkan pariwisata kompleks Gua Jomblang. "Sekarang, warga tiga desa di sekitar Gua Jomblang tak ada lagi yang pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Beberapa dari mereka bahkan punya kesibukan baru: berburu tanah," ungkapnya sambil terkekeh. Keberhasilan konsep pelestarian lingkungan memang harus juga memperhatikan segi pemberdayaan masyarakat lokal, minimal di bidang ekonomi dan pendidikan (atau pelatihan). Paling tidak, kesimpulan itu bisa ditarik dari materi sharing yang disampaikan semua pembicara yang mengisi acara Journalist Camp Thanks To Nature 2013. Selain Zaini Alif dan Cahyo Alkantana, turut menginspirasi pula Andre Yudho dari Komunitas Batik Keloen Magelang, I Made Gunarta, aktivis penanaman Bambu dari Balispirit, yang didampingi Arif Rabiek, Co Founder Evironmental Bamboo Foundation (EBF), Ida Amal, aktivis Komunitas Indonesia Berkebun, dan Oppie Andaresta. Jadi kalau Anda mencintai lingkungan, jangan takut "Dolanan" ya... :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun