Mohon tunggu...
Rob Januar
Rob Januar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sedang menikmati pagi senja kolong Jakarta...rock on!!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sambatan

23 September 2009   07:06 Diperbarui: 20 April 2016   01:06 2203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tiba-tiba kata ini terbersit lagi di benak saya tadi, waktu duduk santai sambil menyeruput kopi manis. Istilah ini sudah jarang terdengar setelah saya hijrah ke Jakarta. Masa-masa kuliah di Jogja dulu, hampir tiap bulan saya diundang sambatan atau sekedar dengar orang mencari hari baik untuk melaksanakannya.

Setelah sekian lama tidak berjumpa, kemarin saya bersilahturahmi ke rumah seorang sepupu yang asli Malang, Jatim. Ditengah obrolan-orolan seputar keluarga, dia mengajak saya datang ke acara pindah rumah adiknya, ya sepupu saya juga. "Ooo, sambatan to?" tanya saya. "Opo sambatan iku?" (sambatan itu apa) dia balik bertanya.


Saya sangat yakin, apapun istilahnya, semua budaya di Indonesia mengenal kegiatan semacam sambatan yang, juga sangat saya yakini, esensinya makin terkikis jaman. Bentuk-bentuk gotong royong murni makin hilang seiring berkembangnya pola kehidupan modern yang sering kebingungan mendewakan privasi dan memisahkannya dari kebutuhan bersosialisasi.

Sedikit menilik asal katanya, sambatan berasal dari ‘sambat', sebuah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti mengeluh. Meski identik dengan kesusahan dan kesulitan, sambatan juga dipakai untuk menyebut acara-acara yang penuh kebahagiaan, seperti pernikahan dan berbagi acara selamatan dalam rangka pertunangan, khitanan, dan kelahiran anak.

Entah apa makna sebenarnya, yang jelas sambatan adalah istilah salah satu bentuk interaksi komunal yang intinya membantu orang yang sedang membutuhkan banyak tenaga, yang banyak dipakai di wilayah Jogja dan Jawa Tengah. Kecuali di wilayah barat yang berdekatan dengan Jawa Tengah, sambatan diistilahkan sebagai ‘Rewang' di sebagian besar masyarakat Jawa Timur

Sambatan umumnya dipakai hanya untuk acara dalam ruang lingkup keluarga (diadakan oleh sebuah keluarga) seperti membangun atau pindah rumah, pernikahan, atau kematian. Jadi, acara kerja bakti membersihkan kampung, misalnya dalam rangka tujuhbelasan, hampir tidak pernah disebut sebagai sambatan.

Saat ini, esensi gotong royong sebuah sambatan makin hilang. Selain menyampaikan empati atas kebahagiaan atau simpati atas kesedihan, orang yang "nyambat" datang dengan harapan agar dibantu jika kelak kemudian hari mengadakan "ewuh" (perhelatan) serupa, sebuah motif yang sarat nuansa komunal. Lebih dari itu, orang (kampung) takut dikucilkan (oleh warga lainnya) jika tidak mau berpartisipasi dalam sambatan.

Tuan rumah tidak menghitung secara nominal tenaga yang dikeluarkan oleh orang-orang yang datang membantu. Suguhan makan dan minum (plus rokok) cukuplah untuk membalas keikhlasan mereka yang datang membantu. Ke depan, tuan rumah diharapkan hadir membalas kebaikan pada warga lainnya dengan cara yang kurang lebih serupa.

Namun saat ini, pendapat bernada "Wegah nek ra ono duwite!" (ogah kalau tidak dibayar) atau sejenisnya makin sering kita dengar dan (ironisnya) makin lumrah! Ya, saya berani bilang itu ironis karena disaat kita berjuang mempertahankan batik, keris, wayang, dan materi hasil budaya bangsa, kita sering melalaikan aspek paling esensial dari sebuah budaya, yaitu nilai.

Salam Kompasiana, Salam Lestari

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun