Memiliki cita-cita menjadi penulis sejak sekolah dasar, tidak lantas membuatku menjadi seorang Haruki Murakami dalam satu malam. Cara menulisku sama payahnya dengan kemampuanku dalam menjawab soal SKD CPNS 4 tahun lalu.Â
Kadang aku berpikir, mungkin dosen memberikanku nilai A untuk skripsiku karena kasihan denganku. Yang pasti bukan karena tulisanku yang bagus dan baik ataupun penelitianku yang memberikan kebaharuan dalam dunia akademik. Bukan. Pasti karena kasihan kan ? eh.
Walau memiliki cita-cita jadi penulis, aku tidak memilih sastra ataupun ilmu linguistik sebagai jalan ninjaku... eh jalan karirku. Aku memilih akuntansi sebagai sarana dalam mencari nafkah.Â
Walaupun bukan passion tapi aku menikmati pekerjaan ku sebagai pegawai tetap di unit keuangan. Aku tahu jika penulis bukan lah profesi yang tepat untuk menjadi kaya.Â
Oleh karena itu, aku menjadikan menulis sebagai sampingan ataupun hobi. Aku pun tekun menjalani hobiku ini sampai saat ini. Hasilnya ? lebih dari 26 buku diari yang mengisahkan perjalanan hidupku dari masih duduk di bangku sekolah dasar sampai saat ini.Â
Selain itu, aku pernah mencoba mengirimkan tulisanku ke media cetak. Pernah satu kali di muat di majalah Story. Itu pun hanya tulisan 150 kata. Satu kali saja.Â
Miris sih dibandingkan dengan cita-citaku menjadi penulis besar dan produktif seperti Tere Liye, Eiji Yoshikawa, Pramodya Ananta Toer, Akiyoshi Rikako, Mira W., Buya Hamka, Asma Nadia, Djenar Maesa Ayu, Sophie Kinsela, dan semua penulis hebat di dunia.Â
Aku juga pernah mengirimkan kumpulan puisi yang kuikutsertakan dalam lomba. Sayangnya gagal. Padahal aku sudah membuat puisi itu selama setahun. Rasanya tercampakkan segala perasaan yang kuwujudkan dalam kata.Â
Padahal aku yakin puisiku bisa menang, tapi apa daya ? apakah aku harus berguru dengan mbah joko pinurbo dan almarhum Sapardi Djoko Damono agar bisa menang ? hiks, tapi sudahlah.Â
Sampai saat tulisan ini cetak di kompasiana pun, aku akan tetap menulis puisi untuk menumpahkan segala kegilaanku mengenai hidupku.Â
Salah satu caraku untuk tetap semangat menulis adalah kompasiana. Walau jarang menulis, aku pasti membuka kompasiana dikala senggang. Kalian bisa mengecek pada profilku. Aku bergabung dengan kompasiana sejak tahun 2013.Â
Sayangnya, tulisan yang kuhasilkan tak melebihi 50 buah. Bagiku menulis itu susah-susah gampang. Ingat, susah-susah gampang itu artinya banyak susahnya daripada gampang nya !
Pertama ketidakmampuanku. Kedua prioritas. Ketiga malas. Tiga faktor ini membuatku malas dan ogah-ogahan dalam menulis. Di Kompasiana aku suka menulis puisi dan pengalaman pribadi. Kadang, tugas kuliah juga ku masukkan dalam kompasiana. Emang semalas itu lah aku.Â
Kadang ada ide bagus, tapi pinggang gak tahan duduk lama. Kadang udah duduk lama, ide yang gak muncul-muncul. Jangankan buat tulisan untuk kategori lain, bahkan untuk menulis puisi saja aku masih tidak konsisten. Â
Namun, rasa optimis untuk menulis di Kompasiana kembali muncul saat aku melihat rubik lyfe khususnya diary ! Akhirnya ada wadah bagiku untuk menulis sesuatu sesukaku seperti menulis diary. Perasaan haru juga muncul. Aku merasa rubik ini hanya untukku (aku tahu ini terlalu lebay tapi biarlah... bodoh amat).Â
Akankah aku akan rajin menulis di rubik Lyfe ini ? entahlah. Kita lihat saja setelah tulisan ini. Apakah aku akan rajin menulis atau tetap malas seperti biasa.
Love My Dear,
Kompasiana Diary.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H