Mohon tunggu...
Rodiyan Gibran Sentanu
Rodiyan Gibran Sentanu Mohon Tunggu... -

Rodiyan Gibran Sentanu\r\nWNI di Jepang

Selanjutnya

Tutup

Healthy

3 Pilar Utama Kemajuan Dunia Medis Suatu Negara

12 Mei 2013   14:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:42 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi di dunia medis kini semakin dekat kita rasakan. Tidak saja pada kaum awam, para praktisi di dunia kedokteran pun juga terkena dampaknya.

Kita ambil contoh dokter bedah. Dulu, tidak sedikit dokter akan senang ketika ia berhasil melakukan bedah yang besar. "besar" yang dimaksud adalah bekas luka jahitan. Semakin besar lukanya, berarti tingkat kesulitan semakin tinggi. Itu berarti tingkat kelihaiannya juga tinggi. Tapi itu cerita dulu. Cerita ketika bedah umumnya dilakukan secara terbuka. Kini telah muncul yang kita kenal dengan bedah laparoskopi. Apa itu laparoskopi? Bedah laparoskopi (dalam bahasa jepang disebut 腹腔鏡下手術: fukuku-kyo-ka syujyutsu), adalah teknik modern dalam dunia bedah. Ini adalah teknik bedah perut yang dilakukan melalui beberapa lubang berdiameter 0,5 sampai 1,5 cm. Jika dibandingkan dengan teknik bedah konvensional, atau bedah terbuka (dalam bahasa Jepang disebut 開腹手術: kaifuku syujyutsu), luka yang tertinggal pada tubuh pasien mengalami penurunan drastis. Silahkan bandingkan dengan bedah terbuka, yang panjang bekas luka pada pasien bisa mencapai 20 sampai 30 cm, tergantung pada jenis operasi yang dilakukan.

Tujuan pada bedah perut, pada dasarnya sama. Yang membedakan hanyalah cara yang ditempuh oleh dokter. Kita ambil contoh, operasi pengambilan lambung. Tujuan dari operasi ini adalah memotong sebagian lambung, dan mengeluarkannya dari tubuh pasien. Lalu, bagaimana caranya? Pada operasi bedah terbuka, dokter akan memotong kulit di daerah perut sedemikian hingga "mata"-nya bisa melihat kondisi lambung, "tangan"-nya bisa meraba, dan "gunting"-nya bisa memotong sebagian lambungnya. Dikarenakan mata, tangan, serta gunting biasa tidak bisa menembus kulit, maka mau tidak mau, kulit pasien harus dibuka agar ketiga benda tadi bisa "bertemu" dengan lambung. Itulah kenapa, pada mulanya operasi pemotongan lambung harus dilakukan dengan bedah terbuka.

Seiring berkembangnya teknologi mesin, manusia mulai bisa memproduksi mata gunting dengan panjang sekitar 20 mm dan lebar kurang dari 5 mm. Ini yang menjadi cikal bakal "gunting" untuk bedah laparoskopi.

Tapi ini saja tidak cukup. perkembangan teknologi mesin yang saya sebutkan ini baru bisa menjadi "tangan" dan "gunting". Masih ada satu elemen lagi, yaitu "mata". Di sinilah peran perkembangan teknologi elektro berperan. Sensor CCD, yang merupakan singkatan dari Charge Couple Device, adalah salah satu kunci berkembangnya metode bedah laparoskopi. CCD adalah sebuah chip berukuran kecil yang berfungsi sebagai kamera. Dengan CCD ini, para teknik mesin cukup menyiapkan sebuah selongsong seperti teropong, kemudian dipasangkan CCD pada bagian belakangnya. Dengan begitu, gambar yang ditangkap pada CCD bisa diperbesar pada monitor. Manfaat yang didapat antara lain, bisa dilihat dengan lebih jelas karena diperbesar, serta dilakukan bersama-sama oleh seluruh tim bedah karena ditampilkan di monitor. "Teropong" ini kemudian disebut dengan laparoskop. Istilah ini diambil dari kata laparotomy yang berarti bedah perut. Dari sini, maka bedah yang menggunakan "teropong" laparoskop disebut dengan bedah laparoskopi.

Tentunya perkembangan metode laparoskopi ini tidak lepas dari peran aktif para dokter. Mengapa demikian? sehebat apapun perkembangan teknologi yang ada, ia tidak akan bisa masuk ke "dalam" ruang operasi tanpa dan kerjasama dari dokter, perawat, serta seluruh pihak yang berhubungan dengan proses penyembuhan seorang pasien.

Dari sisi para pelaku kesehatan, dalam hal ini dokter, perawat, ahli obat, dan sebagainya, munculnya teknologi laparoskop sebetulnya cukup menyulitkan. Mereka harus merelakan diri bersusah payah merubah teknik operasi, teknik persiapan, serta teknik perawatan yang sudah mereka kuasai, dengan teknik baru yang mungkin lebih sulit. Tapi ternyata, baik para pengembang teknologi maupun para pelaku kesehatan, semua memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan yang terbaik bagi pasien. Dari sudut pandang pasien, teknik bedah laparoskopi jauh lebih menguntungkan dibanding teknik bedah terbuka. Luka yang tertinggal jadi lebih kecil, waktu pemulihan pun jauh lebih cepat. Itulah kenapa, dalam dunia medis saat ini, bedah laparoskopi lebih didahulukan dibanding bedah terbuka.

Sebetulnya hal ini tidak terbatas pada bedah laparoskopi saja. Sebut saja, sinar-X untuk melihat tulang, USG untuk melihat bayi kandungan, MRI untuk melihat struktur dalam tubuh. Semua alat-alat ini kini bisa dirasakan manfaatnya oleh pasien berkat kerjasama yang baik antara 3 pihak, pengembang teknologi, pelaku medis, dan yang terakhir pemerintah sebagai pengawas.

Dari sudut pandang para pengembang teknologi, mereka harus paham, bahwa alat-alat yang mereka kembangkan harus bisa memberikan nilai lebih yang memang dibutuhkan saat itu. Itu bisa berupa lebih cepat, lebih akurat, lebih aman, lebih murah, dan lain-lain. Yang perlu diingat, teknologi tersebut harus betul-betul ia pahami secara detail, baik kelebihan, maupun kekurangannya. Setelah itu, ia harus bisa menjelaskan kepada pihak-pihak yang lain, tentunya dengan bahasa yang mudah dipahami agar ia mendapatkan kepercayaan pihak lain.

Dari sudut pandang pelaku medis, dibutuhkan keikhlasan dan kepercayaan kepada para pengembang teknologi. Ikhlas, karena mungkin saja dengan munculnya teknologi yang baru ini, keahlian pelaku medis tersebut tidak lagi dibutuhkan. Contohnya seperti dokter ahli bedah terbuka. Percaya, karena tanpanya, berbagai teknologi yang dikembangkan tidak akan pernah bisa "masuk" ke ruang operasi, atau minimal "masuk" ke ruang uji coba. Ia hanya akan berhenti di daftar paten, jurnal-jurnal teknik, atau bahkan tersimpan di bengkel-bengkel dan tak terpakai.

Dari sudut pandang pemerintah, sudah seharusnya ia mengeluarkan ajakan untuk bekerjasama antara ketiga stakeholder ini. Pemerintah harus memberikan ruang bagi para pengembang teknologi dan para pelaku medis untuk bisa mengembangkan dunia kesehatan sesuai keahlian mereka masing-masing. Pemerintah juga harus bisa merangkul kedua stakeholder ini, agar bisa duduk bersama, untuk memberikan sistem kesehatan yang terbaik bagi penduduknya.

Tanpa kerjasama ketiga stakeholder ini, dunia medis di suatu negara tidak akan pernah berkembang. Ia hanya akan menjadi pengekor negara lain, menjadi "sasaran empuk" para penyedia teknologi, atau menjadi "kelinci percobaan" bagi pengembang teknologi yang baru. Mungkin alat yang digunakan adalah yang terbaru. Tapi yang pasti, negara itu tidak lebih dari sekedar pengguna. Ia harus terus mengeluarkan dana yang mahal, untuk membeli, membeli, dan membeli, hingga suatu saat negara itu kehabisan uang. Ketika saat itu tiba, mungkin hanya Tuhan yang tahu jalan keluarnya.

Pertanyaan selanjutnya, sudahkah Indonesia menyiapkan 3 pilar ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun