Mohon tunggu...
Renytha Miroatuz Solehah
Renytha Miroatuz Solehah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa tahun kedua Kriminologi UI

Sedang berkuliah di jurusan Kriminologi, Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Film

Kontemplasi Singkat Film "Istirahatlah Kata-Kata": Analisis Bentuk Pengendalian Sosial yang Terjadi Melalui Paradigma Politis

10 Maret 2023   17:01 Diperbarui: 10 Maret 2023   17:14 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film "Istirahatlah Kata-Kata" merupakan drama biografis yang menceritakan kisah pelarian Wiji Thukul, seorang aktivis yang vokal dalam menyuarakan hak-hak kaum tertindas, setelah menjadi buronan Peristiwa Kudatuli pada Juli 1996. Wiji Thukul berprofesi sebagai penyair yang kerap menjadikan puisi sebagai simbol kemarahannya pada pemerintah Orde Baru. Ekspresi yang terbalut puisi tersebut telah memicu semangat demonstran dan pemberontak dalam protes-protes politik. Pada kerusuhan Juli 1996, Wiji Thukul dan beberapa aktivis lainnya dikambinghitamkan sebagai provokator yang harus bertanggung jawab pada demonstrasi tersebut. Sejak saat itu, Wiji Thukul dinyatakan sebagai buron dan harus berpindah-pindah untuk melarikan diri.

Film ini kita diajak fokus pada penggambaran keadaan Wiji Thukul saat proses "kamuflase" nya. Sepanjang 90 menit kita disuguhkan sosok pemuda sedang yang berpenampilan lusuh. Penggambaran tersebut merepresentasikan tokoh Wiji Thukul yang merupakan golongan kelas bawah dan tertindas. Pelariannya di Pontianak, Kalimantan Barat kerap dihantui kejaran aparat dan film ini dapat menggambarkan kegundahan, ketakutan, kegelisahan yang terpancar dari Wiji Thukul. Ia menghabiskan malam-malam terjaganya dengan membuat puisi-puisi kebencian pada rezim saat itu. Ia juga masih sering menggaungkan kritisme melalui puisi untuk mengobarkan spirit pejuang reformasi walaupun dengan nickname yang berbeda.

"Istirahatlah Kata-Kata" dapat mendeskripsikan dengan ciamik bagaimana kondisi rezim Orde Baru. Dengan pemerintahannya yang sentralistik dan didominasi dengan aparat. Mungkin karena saat itu Dwifungsi ABRI masih dilanggengkan, sehingga mereka mempunyai kuasa otoriter untuk menangkap seseorang yang dianggap "meresahkan". Salah satu scene yang unik untuk menggambarkan dominasi aparat adalah ketika adegan potong rambut, anggota TNI harus dispesialkan selayaknya pahlawan yang telah berjasa melindungi negara, maka ketika kita mendapat kesempatan untuk "melayani" aparat, kita tidak boleh meminta imbalan. Wajah aparat dalam film ini terepresentasi sebagai institusi yang gila hormat dan memiliki superioritas tinggi. Watak otoriter tersebut membuat Wiji Thukul naik pitam ditambah fakta bahwa aparat tersebut membangga-banggakan kekejiannya kepada para demonstran.

Dari film tersebut secara tersirat menyampaikan bahwa aparat mencoba "mengendalikan" orang-orang perusuh (aktivis) dengan melakukan tindak represif seperti pemukulan dan penganiayaan. Hal tersebut dapat kita lihat dari tanda bekas luka di bawah mata Wiji Thukul. Saya menebak, pembuat film ingin merepresentasikan keberingasan aparat saat kejadian tersebut. Selain kekerasan, rumah keluarga Wiji Thukul di Solo juga didatangi aparat militer untuk digeledah dan menyita buku kumpulan puisi miliknya. Wiji yang saat itu berada di Pontianak melampiaskan kemarahannya melalui penggalan puisi.

Satu pertanyaan yang muncul ketika menonton film ini, mengapa pemerintah mau bersusah payah untuk memberhentikan aktivis-aktivis tersebut? Jika kita pandang dari paradigma politis, hukum merupakan produk dari kepentingan kelompok. Salah satu contoh yang relevan untuk membahas sisi politis Orde Baru adalah teori hukum kelompok kepentingan dari Richard Quinney. Menurut definisi, hukum merupakan produk dari proses politik. Quinney juga mencatat bahwa masyarakat industri modern terdiri dari banyak kelompok yang berbeda dengan tingkat kekuasaan yang tidak sama.

Hukum menggambarkan perilaku yang bertentangan dengan kepentingan segmen atau kelompok yang memiliki kekuasaan untuk merumuskan dan membentuk peraturan-peraturan itu. Kelompok-kelompok ini membentuk "struktur kepentingan", di mana mereka kadang-kadang dapat datang dalam konflik satu sama lain atas kepentingan dan nilai-nilai yang bersaing.

Kembali pada topik, perintah penggeledahan, pencarian aktivis, dan tindakan kekerasan merupakan bentuk pengendalian secara sepihak yang bertujuan agar kerumunan demonstran tidak mengancam kepentingan rezim Orde Baru.  Kelompok dengan kekuasaan yang besar dapat memasukkan kepentingan mereka ke dalam struktur hukum. Konsep kekuasaan didefinisikan dalam beberapa cara, termasuk "Kemampuan individu, kelompok, kelas, atau pemerintah untuk mencapai tujuannya dengan menyebabkan orang-orang yang tidak setuju dengan mereka melakukan sesuatu tidak seharusnya mereka lakukan".

Wiji Thukul dan teman-teman aktivisnya pada aksi Juli 1996 mendesak Soeharto untuk menghapuskan paket 5 Undang-Undang Politik, UU Anti-Subversi, UU Pokok Pers, dan Dwi Fungsi ABRI. Jika dikaji melalui paradigma politis, terdapat potensi "pertentangan" interest yang menyebabkan kelompok yang lebih berkuasa, dalam rangka mempertahankan kepentingan, menjatuhi hukuman kepada aktivis. Salah satu taktik yang mungkin cukup familiar adalah dengan penggunaan pasal karet. Pasal ini sering digunakan untuk menafsirkan pasal pidana dalam hukum secara subjektif, bertujuan untuk mempertahankan kelompok tertentu. Dengan dalih "mengganggu ketertiban umum", secara legal, aparat boleh membubarkan mereka. Dugaan penganiayaan aktivis tersebut tak luput dari pengaruh Dwi Fungsi ABRI. Terlihat adanya relasi militer yang digambarkan dalam tindakan represif terhadap demonstran. Namun, untuk menelusuri siapa "dalang" operasi militer dari banyaknya kejadian tersebut, mungkin kita tidak dapat menemukan titik terangnya. Mengingat kuatnya power yang dimiliki kelompok tersebut. Jika dilihat dari perspektif politis, bisa dikatakan bahwa "dalang" sesungguhnya pasti berbagi kepentingan yang sama dengan angkatan bersenjata pada saat itu. Mengingat mereka adalah eksekutor yang membawahi perintah dari entitas yang lebih kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun