Wabah virus corona atau COVID-19 yang tengah berjangkit di hampir seluruh dunia menimbulkan banyak kekhawatiran dan kecemasan. Salah satu kekhawatiran yang muncul adalah dampaknya terhadap perekonomian dunia.
Virus corona muncul di tengah digdayanya ekonomi Tiongkok (China) ataupun dalam sengitnya perang dagang dengan Amerika Serikat (AS). Virus ini muncul  di lokasi strategis yaitu di Kota Wuhan yang merupakan tempat persimpangan jalur kereta api yang menghubungkan semua kota-kota besar Tiongkok.Â
Kota Wuhan juga dijuluki sebagai "jiu sheng tong qu" atau yang berarti "jalan utama dari sembilan provinsi" tersebut juga merupakan kota manufaktur besar yang salah satu fokus utamanya memproduksi peralatan medis.
Namun dalam waktu yang singkat virus corona ini mengganas, ribuan orang terinfeksi dan bahkan meninggal. Lalu dampak terhadap pertumbuhan ekonomi china seperti apa?
Beberapa pengamat memprediksikan pertumbuhan ekonomi china akan turun sebesar 0,5 persen di kuartal I-2020, bahkan ada juga yang memprediksikan ekonomi china hanya akan tumbuh sebesar 3,5% di kuartal I-2020, yang dimana selama ini pertumbuhan ekonomi china diatas 6%
Kondisi ini juga diperparah ditengah larangan beberapa negara diberbagai sektor seperti impor, ekspor hingga penerbangan termasuk Indonesia. Dan beberapa pabrik di tiongkok mulai tutup akibat dampak virus corona ini.
2 Maret 2020 Presiden RI mengumumkan corona telah masuk ke Indonesia, tapi dampak corona sudah dirasakan Indonesia sebelum diumumkan corona masuk ke Indonesia, dan yang paling berdampak adalah di sektor parawisata dan perdagangan.Â
Hal ini disebabkan karena beberapa kebijakan pemerintah : 1) Membatasi ekspor dan impor dengan china. 2) Menghentikan aturan bebas visa untuk warga china. 3) Menghentikan penerbangan dari dan ke china.
Menurut penuturan Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, Covid-19 adalah fenomena supply shock, karena China adalah salah satu pusat dari jaringan produksi.Â
Tak hanya itu, China juga memproduksi bahan pembantu atau barang modal bagi banyak negara di dunia. Terganggunya perekonomian China akibat Covid-19 akan membuat terganggunya rantai produksi global (global supply chain).
Disrupsi di China akan membuat tidak tersedianya bahan baku, bahan penolong, barang modal atau komponen yang dibutuhkan oleh negara-negara lain termasuk di Eropa, Asia dan juga Indonesia.Â
Dalam kondisi ini maka produksi akan terganggu. Inilah disebut sebagai supply shock. Di sisi lain melemahnya China juga berarti mengurangi permintaan terhadap bahan baku, bahan mentah atau komponen untuk barang jadi yang diproduksi di China.
Jika Covid-19 ini mereda dalam waktu pendek, sekitar 3-4 bulan, maka jumlah stock bahan baku, komponen dsb mungkin masih cukup, sehingga dampak disrupsi supply belum akan terjadi. Namun bila ini berlangsung dalam jangka waktu panjang, maka perusahaan akan kehabisan bahan baku, barang modal, komponen untuk produksi.
Akibatnya terjadi disrupsi dalam produksi. Terjadilah supply shock. Implikasi dari supply shock, aggregate supply atau produksi akan menurun. Penurunan produksi ditambah besarnya permintaan akan mendorong terjadinya kenaikan harga.
Tidak hanya itu, disampaikan pula oleh Achmad Fauzan F (Presidium Nasional FoSSEI 2019/2020) dalam Kajian Online RnD FoSSEI Jawa Timur pada 10 Maret 2020 bahwa Corona virus membawa dampak terhadap pasar modal IHSG mengalami penurunan drastis yakni 6,58%.
Hal ini disebabkan juga oleh dampak virus corana karena kecemasan masyarakat terhadap perlambatan ekonomi global akhirnya banyak investor yang menjual saham mereka dan beralih ke aset-aset yang lebih aman yaitu obligasi atau emas.
Harapan terbesar saat ini adalah wabah corona tidak berlangsung lama agar dampak yang dihasilkan oleh virus ini tidak semakin memperburuk kondisi perekonomian global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H