Internasionalisasi Bahasa Indonesia
Bahasa adalah media komunikasi bagi setiap makhluk hidup, contohnya saja komputer yang menggunakan bahasa biner yang diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti manusia melalui program-program antar muka yang ada. Bahasa isyarat seperti morse juga digunakan untuk berkomunikasi. Kedua jenis bahasa di atas merupakan bahasa yang dapat dikatakan bahasa internasional karena masyarakat internasional sepakat untuk bersama-sama menggunakannya secara seragam dan luas di seantero dunia.
Penulis berpikir, apa yang menjadi syarat agar bahasa sekelompok masyarakat dapat menjadi bahasa yang dipergunakan secara luas di dunia internasional? Sempat terpikir apakah hal tersebut dapat dicapai dengan penggunaan cara otoriter seperti pemaksaan dan penjajahan. Namun sejarah membuktikan pendekatan kekerasan tidak berdampak secara signifikan terhadap penggunaan bahasa tersebut oleh korban, contohnya : penjajahan Jepang dan Belanda tidak mengakibatkan bangsa Indonesia menggunakan bahasa mereka secara fasih atau terdorong dengan kuat untuk mempelajari bahasa mereka. Bukti yang paling signifikan adalah kisah sang penguasa terbesar dalam sejarah, yaitu Kubilai Khan. Ia mencoba menggabungkan bahasa-bahasa dari tiap daerah yang ia taklukkan. Tentu ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan mengingat wilayah kekuasaannya yang begitu luas. Ia menguasai seperlima wilayah bumi yang berpenghuni sekitar setengah umat manusia kala itu.[1] Ia ingin menyatukan bahasa Mongol, China, Tibet, Manchuria, Sanskerta, Burma, Vietnam, Jepang, dan wilayah lainnya dengan membuat jenis bahasa baru.[2] Namun seiring dengan perjalanan waktu kekuasaannya tidak serta merta membuat bangsa-bangsa jajahannya menggunakan bahasa tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kekerasan tidak membuat sebuah bahasa dapat menjadi bahasa Internasional. Lalu bagaimana halnya dengan bahasa Inggris yang menjadi bahasa internasional. Kita tidak bisa menutup mata bahwa Inggris memiliki banyak koloni yang bisa saja menjadi penyebab internasionalisasi bahasa mereka. Namun jika melihat sejarah Kubilai Khan maka tentu ada hal lain yang menjadi pemicunya.
Salah satu penyebab sebuah bahasa dapat menjadi bahasa internasional adalah bahasa tersebut harus digunakan dalam diplomasi, perdagangan internasional, dan juga berperan besar dalam penyebaran ilmu pengetahuan.[3] Mungkin inilah salah satu penyebab kegagalan Kubilai. Bahasa mereka tidak digunakan sebagai bahasa antara melainkan menggantikan secara total bahasa yang sudah ada. Bahasa Inggris dapat berhasil karena selain wilayah koloninya yang luas, bahasa ini juga disebarkan dengan cara-cara yang lebih halus. Setiap ada warga Inggris yang menyebar ke wilayah lain, mereka selalu mengajarkan bahasa mereka. Mereka juga aktif berdiplomasi, berdagang, dan menyebarkan ilmu pengetahuan mereka dengan menggunakan bahasa Inggris. Jika melihat syarat-syarat di atas maka tentu sulit bagi bahasa Indonesia dapat dijadikan sebagai bahasa Internasional.
Namun ada hal-hal yang merupakan peluang besar bagi bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa Internasional. Pertama, jumlah penutur bahasa Melayu-Indonesia yang cukup banyak. Penutur bahasa Melayu-Indonesia pada tahun 2011 meliputi Indonesia (± 327 juta jiwa), Malaysia (± 28,8 juta jiwa), Brunei Darussalam (± 0,3 Juta jiwa), Singapura (± 5,2 juta jiwa), Timor Leste (± 1,1 juta jiwa), dan Thailand (± 65 juta jiwa). Jadi jumlah penuturnya dapat diperkirakan sejumlah 427,4 juta jiwa atau sekitar 1/15 jumlah penduduk dunia yang berada di kisaran jumlah 6.5 milyar jiwa. Hal ini didukung dengan cita-cita para pemimpin ASEAN untuk membentuk komunitas ASEAN yang perlu didukung dengan penggunaan bahasa antara yang seragam, dan tentu saja bahasa yang memenuhi syarat untuk menjadi bahasa antara bagi seluruh anggota ASEAN adalah bahasa Indonesia mengingat jumlah penuturnya yang sangat banyak di kawasan Asia Tenggara.
Kedua, saat ini, diperkirakan ada 45 negara yang telah mengajarkan bahasa Indonesia di lembaga pendidikan mereka, seperti Kanada, Amerika, Belanda, Vietnam, termasuk Australia dan masih banyak lagi negara lain. Selain itu menurut Kepala Badan Pusat Bahasa Kemdikbud, Agus Dharma, pusat-pusat studi bahasa dan kebudayaan Indonesia kini juga sudah tersebar di 48 negara di dunia dengan jumlah 150 pusat (Kompas, 16/11/2011). Jumlah itu masih akan ditambah lagi dalam waktu dekat.[4]
Ketiga, Indonesia adalah salah satu bangsa yang luas di belahan dunia. Indonesia memiliki kebudayaan dan sumber daya alam yang begitu beragam, unik, dan melimpah seperti bahasa daerah, adat istiadat, kebiasaan, suku, pariwisata, dan beberapa tempat di Indonesia yang menjadi tempat penelitian. Semua itu membuat banyak negara tertarik dengan Indonesia. Di satu sisi hal ini memicu kita untuk mempelajari bahasa pengunjung kita, namun demikian pula sebaliknya. Mereka akan lebih efektif dalam menggali, meneliti, dan mempelajari budaya atau sumber daya suatu tempat dengan cara mempelajari bahasa setempat yang tentu saja bahasa Indonesia adalah bahasa pengantarnya.
Keempat, bahasa Indonesia memiliki tata bahasa yang sederhana dan teratur serta penggunaannya dalam percakapan relatif mudah dipelajari. Sebagai bahasa aglutinasi (bahasa yang penyusunan kalimatnya dilakukan dengan melekatkan kata dengan kata), Bahasa Indonesia jauh lebih gampang dipelajari dibandingkan dengan bahasa infleksi (bahasa yang mengenal perubahan kata kerja). Bahasa Indonesia juga memiliki cukup banyak perbendaharaan kata (sekitar 10 ribu) biarpun tidak sebanyak bahasa Inggris (yang mencapai 50 ribu), namun Bahasa Indonesia memiliki daya ungkap memadai untuk dipertimbangkan menjadi bahasa dunia.[5]
Namun kita juga diperhadapkan dengan tantangan yang dapat menjadi penghalang cita-cita internasionalisasi bahasa Indonesia. Pertama, penggunaan bahasa ibu (bahasa daerah). Di kota-kota yang kecil dan pedesaan penggunaan bahasa Indonesia malah relatif terpinggirkan dengan bahasa daerah atau bahasa ibu si penutur. Hal ini disebabkan oleh pengenalan mereka akan bahasa daerah sangat kental sehingga membuat mereka terbiasa dan nyaman dengannya. Penulis menemukan bahkan di kota besar sekalipun seringkali ditemukan sekelompok masyarakat lebih nyaman menggunakan bahasa daerah di komunitasnya masing-masing daripada menggunakan bahasa Indonesia. Mungkin saja, penggunaannya membawa efek kenyamanan dan menjamin kerahasiaan topik pembicaraan mereka dari penutur daerah lain.
Kedua, banyak masyarakat yang lebih bangga menggunakan bahasa asing atau bahasa 'campur aduk' yang dikatakan keren. Di kota besar sebuah fenomena yang mengkuatirkan adalah penggunaan bahasa Indonesia yang sudah hancur-hancuran. Masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya dalam percakapan sehari-hari meski terkadang penggunaannya masih sangat jauh dari fasih. Belum lagi penggunaan bahasa asing dan bahasa Indonesia yang dicampur sedemikian rupa sehingga merusak tata bahasa yang terlibat di dalamnya. Namun inilah yang seringkali dilakukan bahkan oleh media nasional, orang-orang di pemerintahan kita, dan tokoh-tokoh panutan masyarakat dalam percakapan, tulisan, situs, dan lain sebagainya. Sepertinya hal itu sudah menjadi tolak ukur kehebatan penggunanya, makin banyak mengutip atau menambal kalimat-kalimat yang diucapkan dengan bahasa asing maka makin hebat dan pintarlah penggunanya. Contohnya saja sebuah halaman di situs resmi Pekan Olahraga Nasional (PON) 2012 di Riau yang menggunakan kata venue dan countdown yang pastinya tidak terdapat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Bahkan fenomena penggunaan bahasa daerah dan bahasa asing juga penulis temukan di lingkungan pendidikan seperti sekolah dan kampus. Pada saat ada teman yang berbahasa Indonesia sesuai Ejaan yang Disempurnakan (EYD) malah diejek serta dianggap kuno, kaku, dan kurang pergaulan. Sungguh miris saat melihat hal ini justru terjadi di institusi pendidikan yang notabene mengajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Ketiga, banyaknya tawaran dan promosi budaya negara lain di Indonesia. Di era globalisasi ini bangsa kita dibanjiri dengan berbagai budaya asing. Dahulu kita hanya mendapat gempuran budaya dan bahasa produk barat, namun kini generasi muda kita juga dicekoki dengan budaya dan bahasa lainnya, seperti Jepang, Korea, China, dan bahasa-bahasa lainnya. Menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan bahasa asing juga memicu masyarakat untuk mempelajari bahasa asing. Saat ini merupakan kebanggaan saat seseorang menguasai banyak bahasa. Penulis menganggap hal ini normal saja, namun tentu akan menjadi ancaman saat orang tersebut lebih membanggakan dan menyenangi penggunaan bahasa-bahasa asing tersebut di dalam pergaulan sehari-hari. Pada saat hal tersebut terjadi maka nilai-nilai, budaya, dan bahasa lokal semakin tereduksi. Indikasinya adalah semakin berkurangnya jumlah penutur bahasa daerah dan menurunnya rasa bangga berbahasa Indonesia di kalangan masyarakat. Berdasarkan data pada Pusat Bahasa Indonesia, saat ini terdapat 746 bahasa daerah di Indonesia, 273 di antaranya ada di Papua yang setiap tahun mengalami penurunan jumlah penutur. Dari 746 bahasa daerah itu, 15 bahasa daerah telah dinyatakan mati (dead languages) karena tidak ada penuturnya dan 150 lainnya dalam proses kematian, yang dalam sosiolinguistik disebut sebagai endangered languages. Rendahnya kesetiaan penutur bahasa Indonesia terhadap bahasa nasionalnya akan mengancam keberlangsungan bahasa dan budaya bangsa Indonesia itu sendiri.
Keempat, penutur bahasa Indonesia tidak memiliki rasa percaya diri dan peduli akan kelestarian bahasa nasionalnya sendiri. Rendahnya hasil Ujian Nasional mata pelajaran bahasa Indonesia pada ujian nasional dua tahun terakhir setidaknya membuktikan hipotesis tersebut. Dari 11. 443 siswa yang tidak lulus UN 2011, 1.786 (38,43%) di antaranya adalah untuk mata pelajaran bahasa Indonesia. (Kompas, 26/5/2011).[6] Penulis pun sewaktu menerima hasil Ebtanas mendapati bahwa nilai bahasa Inggris saya justru jauh lebih tinggi daripada bahasa Indonesia dan ternyata kondisi itu juga terjadi pada banyak teman-teman yang lain. Penulis merasa perlu memberi catatan bahwa waktu itu saya sama sekali tidak menganggap bahwa hal itu adalah suatu masalah yang membawa dampak bagi bangsa. Sungguh penulis sesalkan mengapa dahulu penulis tidak memiliki kepedulian dan kepekaan akan hal ini.
Lalu mungkinkah bahasa Indonesia menjadi sebuah bahasa internasional? Mengingat kelebihan dan peluang yang kita miliki maka selalu ada kesempatan, tentu dengan catatan bahwa semua tantangan atau kendala yang ada harus bisa ditemukan solusinya. Pertama, untuk langkah awal maka kita bisa memulainya dengan memperjuangkan agar bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa yang dipergunakan di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
Kedua, Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu, dan bahasa antara bagi relasi antar daerah adalah sebuah keharusan. Kita bersama-sama harus menjadi pemelihara yang setia akan bahasa warisan nenek moyang kita ini. Di dalam peristiwa Sumpah Pemuda, bangsa ini sudah menyepakati untuk menanggalkan perbedaan-perbedaan yang ada demi persatuan dan kesatuan termasuk bahasa di dalamnya. Semangat yang melandasi peristiwa tersebut harus dihidupkan kembali. Kita bisa menggunakan banyak cara, melalui media, karya seni, program pemerintah, lomba-lomba, karya ilmiah, dan lain sebagainya. Tugas ini bukanlah semata-mata tugas pemerintah, melainkan setiap orang yang menjadi warga negara Indonesia.
Ketiga, jika kita cermati maka sebuah bahasa menjadi begitu menarik adalah karena bahasa tersebut selalu dipaketkan dengan kebudayaan negara tersebut dan dikemas secara menarik. Lihat saja bahasa Korea dan Jepang yang merupakan satu paket lengkap dengan musik pop, manga, film, dan gaya berpakaian mereka yang begitu digemari oleh masyarakat kita. Jika negara-negara ini bisa, maka seharusnya kita juga bisa. Kita bisa membuat komik, film, musik, dan gaya berpakaian dengan kemasan yang menarik. Sebuah fakta yang menarik adalah industri literatur dan perfilman di Indonesia sedang mengalami kebangkitan dengan semakin banyaknya film, buku, novel, komik dan demikian pula halnya dengan penulis dan seniman pembuatnya. Momentum ini harus diresponi secara tepat oleh pemerintah dan setiap warga negara. Kualitas harus ditingkatkan, penghargaan harus diberikan, pembajakan harus diberantas, dan masih banyak lagi yang perlu kita lakukan agar kita bisa mencintai produk dalam negeri lebih daripada produk luar.
Keempat, mengembalikan kepercayaan diri dan kebanggaan akan bahasa kita sendiri. Kita tidak bisa bermimpi dan berharap bahwa bahasa Indonesia diminati, dihargai, dan menjadi menarik untuk dipelajari sehingga menjadi bahasa internasional jika kita saja tidak bisa menghargai bahasa kita sendiri. Seperti konser beberapa hari belakangan yang penulis saksikan beritanya di televisi. Konser itu mendatangkan artis-artis dan kelompok musik Korea. Yang menarik dari bagian ini adalah saat diwawancara, mereka dengan penuh kebanggaan menggunakan bahasa nasional mereka, terlepas dari apakah mereka mampu berbahasa Inggris atau tidak. Di momen konser yang bertaraf internasional mereka tetap menggunakan bahasa mereka. Korea dan Jepang memang terkenal dengan kecintaan mereka akan produk dan budaya mereka sendiri. Hal ini sedikit berbeda jika kita melihat para artis kita, di taraf nasional pun mereka lebih senang menggunakan bahasa Inggris meski tidak konsisten karena tidak menggunakannya dari awal hingga akhir pembicaraan. Jadi saya pikir kita perlu memulai dari sekarang untuk menghargai dan bangga dengan bahasa kita sendiri. Tidak hanya pemerintah, tokoh-tokoh dan orang-orang yang menjadi panutan, teladan, dan sorotan, melainkan seluruh masyarakat Indonesia harus terlibat.
Penulis berpikir langkah menuju internasionalisasi bahasa Indonesia masih terlalu jauh. Namun hal itu tidak akan terjadi jika kita tidak memulai memperbaiki, mendobrak penghalang, dan menyambut tantangan yang diberikan. Pada saat kita bisa melalui semuanya maka niscaya hal tersebut akan terealisasi, mungkin bukan di masa kita, namun mungkin di masa anak cucu kita. Mari kita mempersiapkan masa depan bangsa ini bagi kita dan bagi generasi penerus bangsa Indonesia.
[1] John Man, 2010, Kubilai Khan, Alvabet, Jakarta, hal 7.
[2] John Man, 2010, Kubilai Khan, Alvabet, Jakarta, hal 152-154.
[3] http://www.mudjiarahardjo.com/artikel/366.html
[4] http://www.mudjiarahardjo.com/artikel/366.html
[5] http://johnherf.wordpress.com/category/bahasaku-bahasamu/
[6] http://www.mudjiarahardjo.com/artikel/366.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H