Mohon tunggu...
Robert Musung
Robert Musung Mohon Tunggu... -

Menulis demi sebuah proses perubahan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Internasionalisasi Bahasa Indonesia

24 September 2012   02:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:50 4269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, banyaknya tawaran dan promosi budaya negara lain di Indonesia. Di era globalisasi ini bangsa kita dibanjiri dengan berbagai budaya asing. Dahulu kita hanya mendapat gempuran budaya dan bahasa produk barat, namun kini generasi muda kita juga dicekoki dengan budaya dan bahasa lainnya, seperti Jepang, Korea, China, dan bahasa-bahasa lainnya. Menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan bahasa asing juga memicu masyarakat untuk mempelajari bahasa asing. Saat ini merupakan kebanggaan saat seseorang menguasai banyak bahasa. Penulis menganggap hal ini normal saja, namun tentu akan menjadi ancaman saat orang tersebut lebih membanggakan dan menyenangi penggunaan bahasa-bahasa asing tersebut di dalam pergaulan sehari-hari. Pada saat hal tersebut terjadi maka nilai-nilai, budaya, dan bahasa lokal semakin tereduksi. Indikasinya adalah semakin berkurangnya jumlah penutur bahasa daerah dan menurunnya  rasa bangga berbahasa Indonesia di kalangan masyarakat. Berdasarkan data pada Pusat Bahasa Indonesia, saat ini terdapat 746 bahasa daerah di Indonesia, 273 di antaranya ada di Papua yang setiap tahun mengalami penurunan jumlah penutur. Dari 746 bahasa daerah itu, 15 bahasa daerah telah dinyatakan mati (dead languages) karena tidak ada penuturnya dan 150 lainnya dalam proses kematian, yang dalam sosiolinguistik disebut sebagai endangered languages. Rendahnya kesetiaan penutur bahasa Indonesia terhadap bahasa nasionalnya akan mengancam keberlangsungan bahasa dan budaya bangsa Indonesia itu sendiri.

Keempat, penutur bahasa Indonesia tidak memiliki rasa percaya diri dan peduli akan kelestarian bahasa nasionalnya sendiri. Rendahnya hasil Ujian Nasional mata pelajaran bahasa Indonesia pada ujian nasional dua tahun terakhir setidaknya membuktikan hipotesis tersebut. Dari 11. 443 siswa yang tidak lulus UN 2011, 1.786 (38,43%) di antaranya adalah untuk mata pelajaran bahasa Indonesia. (Kompas, 26/5/2011).[6] Penulis pun sewaktu menerima hasil Ebtanas mendapati bahwa nilai bahasa Inggris saya justru jauh lebih tinggi daripada bahasa Indonesia dan ternyata kondisi itu juga terjadi pada banyak teman-teman yang lain. Penulis merasa perlu memberi catatan bahwa waktu itu saya sama sekali tidak menganggap bahwa hal itu adalah suatu masalah yang membawa dampak bagi bangsa. Sungguh penulis sesalkan mengapa dahulu penulis tidak memiliki kepedulian dan kepekaan akan hal ini.

Lalu mungkinkah bahasa Indonesia menjadi sebuah bahasa internasional? Mengingat kelebihan dan peluang yang kita miliki maka selalu ada kesempatan, tentu dengan catatan bahwa semua tantangan atau kendala yang ada harus bisa ditemukan solusinya. Pertama, untuk langkah awal maka kita bisa memulainya dengan memperjuangkan agar bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa yang dipergunakan di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).

Kedua, Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu, dan bahasa antara bagi relasi antar daerah adalah sebuah keharusan. Kita bersama-sama harus menjadi pemelihara yang setia akan bahasa warisan nenek moyang kita ini. Di dalam peristiwa Sumpah Pemuda, bangsa ini sudah menyepakati untuk menanggalkan perbedaan-perbedaan yang ada demi persatuan dan kesatuan termasuk bahasa di dalamnya. Semangat yang melandasi peristiwa tersebut harus dihidupkan kembali. Kita bisa menggunakan banyak cara, melalui media, karya seni, program pemerintah, lomba-lomba, karya ilmiah, dan lain sebagainya. Tugas ini bukanlah semata-mata tugas pemerintah, melainkan setiap orang yang menjadi warga negara Indonesia.

Ketiga, jika kita cermati maka sebuah bahasa menjadi begitu menarik adalah karena bahasa tersebut selalu dipaketkan dengan kebudayaan negara tersebut dan dikemas secara menarik. Lihat saja bahasa Korea dan Jepang yang merupakan satu paket lengkap dengan musik pop, manga, film, dan gaya berpakaian mereka yang begitu digemari oleh masyarakat kita. Jika negara-negara ini bisa, maka seharusnya kita juga bisa. Kita bisa membuat komik, film, musik, dan gaya berpakaian dengan kemasan yang menarik. Sebuah fakta yang menarik adalah industri literatur dan perfilman di Indonesia sedang mengalami kebangkitan dengan semakin banyaknya film, buku, novel, komik dan demikian pula halnya dengan penulis dan seniman pembuatnya. Momentum ini harus diresponi secara tepat oleh pemerintah dan setiap warga negara. Kualitas harus ditingkatkan, penghargaan harus diberikan, pembajakan harus diberantas, dan masih banyak lagi yang perlu kita lakukan agar kita bisa mencintai produk dalam negeri lebih daripada produk luar.

Keempat, mengembalikan kepercayaan diri dan kebanggaan akan bahasa kita sendiri. Kita tidak bisa bermimpi dan berharap bahwa bahasa Indonesia diminati, dihargai, dan menjadi menarik untuk dipelajari sehingga menjadi bahasa internasional jika kita saja tidak bisa menghargai bahasa kita sendiri. Seperti konser beberapa hari belakangan yang penulis saksikan beritanya di televisi. Konser itu mendatangkan artis-artis dan kelompok musik Korea. Yang menarik dari bagian ini adalah saat diwawancara, mereka dengan penuh kebanggaan menggunakan bahasa nasional mereka, terlepas dari apakah mereka mampu berbahasa Inggris atau tidak. Di momen konser yang bertaraf internasional mereka tetap menggunakan bahasa mereka. Korea dan Jepang memang terkenal dengan kecintaan mereka akan produk dan budaya mereka sendiri. Hal ini sedikit berbeda jika kita melihat para artis kita, di taraf nasional pun mereka lebih senang menggunakan bahasa Inggris meski tidak konsisten karena tidak menggunakannya dari awal hingga akhir pembicaraan. Jadi saya pikir kita perlu memulai dari sekarang untuk menghargai dan bangga dengan bahasa kita sendiri. Tidak hanya pemerintah, tokoh-tokoh dan orang-orang yang menjadi panutan, teladan, dan sorotan, melainkan seluruh masyarakat Indonesia harus terlibat.

Penulis berpikir langkah menuju internasionalisasi bahasa Indonesia masih terlalu jauh. Namun hal itu tidak akan terjadi jika kita tidak memulai memperbaiki, mendobrak penghalang, dan menyambut tantangan yang diberikan. Pada saat kita bisa melalui semuanya maka niscaya hal tersebut akan terealisasi, mungkin bukan di masa kita, namun mungkin di masa anak cucu kita. Mari kita mempersiapkan masa depan bangsa ini bagi kita dan bagi generasi penerus bangsa Indonesia.

[1] John Man, 2010, Kubilai Khan, Alvabet, Jakarta, hal 7.

[2] John Man, 2010, Kubilai Khan, Alvabet, Jakarta, hal 152-154.

[3] http://www.mudjiarahardjo.com/artikel/366.html

[4] http://www.mudjiarahardjo.com/artikel/366.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun