Mohon tunggu...
Robert Musung
Robert Musung Mohon Tunggu... -

Menulis demi sebuah proses perubahan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bebas dari Sial

18 Februari 2012   11:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:30 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kamis, 14 Februari 2012 11.34 Wita, near Rice Field.

Bebas dari Sial

Pernahkah kita mendengar istilah “Sudah Jatuh Tertimpa Tangga”? Itulah istilah untuk kesialan yang luar biasa. Namun saya iseng bertanya, emang sial itu apa sih? Banyak yang menghubungkan kesialan dengan suatu kondisi yang mendatangkan kesusahan bagi seseorang. Makin banyak kesusahan yang dialami, makin serem juga istilah yg dipakai. Sebut saja sial tujuh turunan. Sampai-sampai ada sebuah iklan tertentu yang memakai filosafi ini. Hal ini memiliki makna yang sangat dalam. Kesialan yang diderita begitu kuat dan luas sehingga sampai turunan yang ketujuh pun terkena dampaknya.
Siapa yang mau dirundung sial? Tentu tidak ada yang mau. Lalu bagaimana cara bisa terbebas dari yang namanya kesialan? Itulah yang akan kita bahas. Menurut saya kesialan terjadi pada seseorang saat ia merasa bahwa dirinya dirugikan, dicurangi, dan di-dzolimi (maaf jika penulisannya salah-red) terlepas dari apa yang terjadi dengan orang lain ataupun lingkungannya. Ia merasa bahwa ia tidak pantas menerima semua kesusahan itu. Sejalan dengan itu, makna kata sial menurut KBBI adalah tidak mujur dan segala usahanya selalu tidak berhasil (seperti sukar mendapat rezeki dan sukar mendapat jodoh). Pertanyaan yang perlu dipikirkan adalah apakah kesusahan selalu identik dengan kesialan? Pertanyaan yang lebih berani lagi adalah apakah kata kesialan itu sebenarnya eksis atau hanya ada karena pemikiran yang salah dari banyak orang?
Saya akan meninjaunya dari dua sudut pandang, yang pertama adalah dari sudut pandang pencipta alias Tuhan dan yang kedua adalah dari sudut pandang ciptaan alias kita manusia. Mari kita tinjau terlebih dahulu dari sudut pandang Tuhan. Karena saya seorang Kristen, maka saya akan menjadikan Alkitab sebagai acuan saya. Kata sial sangatlah tidak populer di dalam Alkitab karena penulis hanya menemukan 5 kata sial dan itu sudah termasuk dengan kata sial yang menggunakan imbuhan (2 Samuel 22:19; Ayub 16:2; Mazmur 18:18; Yehezkiel 35:5; dan Obaja 1:13), bahkan kata-kata tersebut adalah kata-kata yang diucapkan oleh manusia dan bukannya Tuhan. Sebuah pertanyaan ‘nakal’ yang muncul di kepala saya adalah benarkah sial itu eksis, atau itu hanyalah sebuah kata yang muncul karena mispersepsi yang manusia tangkap dari maksud Tuhan yang sesungguhnya? Kalaupun ditemukan 5 buah kata sial di dalam Alkitab, semuanya tidak menunjukkan perasaan ataupun pemikiran pesimis akan hal tersebut. Mereka hanya melihat itu sebagai ‘bunga’ dalam kehidupan mereka. Penulis berpikir bahwa kata sial tidak ada dalam kosakata Tuhan, karena pada saat manusia mengalami kesusahan yang berat sekalipun, itu hanya dapat diartikan dua hal; yang pertama adalah sebagai sebuah ujian yang akan menguatkan dan membentuk manusia agar menjadi manusia yang lebih baik di mata Tuhan; yang kedua adalah sebagai sebuah penghukuman karena kesalahan tertentu yang manusia lakukan dengan harapan manusia menyadari kesalahannya dan kembali padaNya.
Sudut pandang yang kedua adalah sudut pandang manusia. Saat kesusahan datang, kita seringkali berfokus dengan kesusahan itu bukannya pada apa makna dibalik itu semua. Saat kesusahan datang energi kita tersedot pada bagaimana menyelesaikan masalah itu dan keluar dari kondisi yang tidak nyaman serta menyakitkan tersebut bukannya fokus dengan apa yang menjadi penyebab kesusahan itu sebenarnya. Secara tidak langsung kita sedang fokus dengan masalah tersebut dan menjadi seorang yang sangat egois dan seringkali menjadi cenderung jahat. Mengapa demikian? Karena kita fokus dengan diri sendiri, maka kita akan menjadi tidak peduli dengan orang lain dan bahkan Tuhan. Padahal jika kita berkaca pada biografi orang-orang terkenal, bahkan tokoh-tokoh humanis yang melihat potensi manusia begitu besar pun setuju bahwa kata sial yang seringkali kita anggap menyusahkan itu sebenarnya adalah suatu proses yang mendorong kita untuk mendobrak lolos atau memanjat naik dari posisi kehidupan kita sekarang ini sehingga bisa berguna bagi orang lain. Tidak ada keputusasaan dan mengasihi diri yang berlebihan dari mereka,. Mother Teresa, seorang tokoh yang begitu terkenal mengatakan (dengan kata-kata penulis sendiri) bahwa meski Ia sendiri berbeda dan mengupayakan hal yang berbeda ia tidak akan berhenti. Ia mengumpamakan dirinya sebagai sebuah tetesan air di lautan, meski hanya setetes, namun lautan akan merasa kehilangan jika tetesan itu (yaitu dirinya) tidak ada. Lihatlah saudara, lalu mengapa kita begitu cepat menghakimi diri kita sendiri dan juga orang lain dan mengatakan bahwa diri kita atau orang lain mengalami kesialan? Bukankah kondisi itu hanyalah sebuah alat yang Tuhan pakai untuk menolong kita. Jika demikian pantaskah kondisi tersebut kita anggap sebagai kesialan? Bahkan seandainya kita adalah seorang ateis pun akan menganggap bahwa kesialan itu hanyalah muncul saat kita begitu pesimis dengan kondisi kita sendiri sehingga alih-alih bangkit, kita malah mencari kambing hitam untuk dipersalahkan, entah diri sendiri, entah juga orang lain.
Lalu, bagaimana cara kita bebas dari kesialan? Menurut saya pribadi, seperti yang saya sudah jelaskan panjang lebar di atas, kesialan dengan persepsi yang ada sekarang ini  adalah tidak ada. Jika dipaksakan harus ada, maka ijinkan saya mengganti definisi dari kesialan. Menurut saya adalah kesialan jika kita sebagai ciptaan diacuhkan oleh Tuhan yang menciptakan kita. Sama seperti orang tua yang mengasihi anaknya, ia akan mendidik dan bahkan menghajar kita demi kebaikan kita. Jadi menurut saya, yang ada hanyalah pembentukan dari Tuhan agar saya menjadi pribadi yang lebih berkenan dimataNya dan bisa berkarya maksimal di dunia ini. Jadi, hapuskanlah kata sial dari otak kita atau gantilah persepsi kita tentang kata sial dengan persepsi yang tepat.
Lalu apa menurutmu saudaraku? Apakah engkau mengatakan engkau sedang mengalami kesialan hari ini? Atau itu hanya bentuk kemalasan dan keengganan kita untuk bangkit dan berkarya lebih baik lagi? Percayalah, kata sial itu menghambat kita untuk berkarya lebih lagi bagi orang-orang yang kita kasihi, bagi keluarga kita, bagi bangsa kita, dan terlebih bagi Tuhan kita.
Jika hal ini bertentangan dengan pemikiran kawan-kawan atau bahkan bertentangan dengan pemikiran umum yang berlaku saat ini dan kawan-kawan tidak menerimanya, maka perlakukanlah tulisan ini hanya sebagai sebuah percikan pemikiran. Bersyukur jika anda setuju dan sepakat dengan saya. Semoga sukacita selalu menyertai kita. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun