" Masih kuat di ingatan saya, pagi itu ketika berangkat kerja menggunakan KRL, saya melihat kawasan pemukiman kumuh yang dilewati komuter line ini. Di sana saya lihat sebuah keluarga yang sedang duduk di dipan, dan makan bersama. Tampak kebahagiaan terpancar dari wajah mereka," kenang Kang Nandang. "
"Entah kenapa, meskipun saya bekerja di Bank dengan pendapatan yang bisa dibilang lebih dari cukup, hati saya masih belum mendapatkan kebahagiaan seperti itu. Mereka yang bisa jadi sang ayah hanya bekerja sebagai, maaf, pemulung, bisa terlihat amat bahagia dengan kehidupannya. Mengapa? Mengapa saya tidak bisa seperti itu," tambahnya.
Sudah 10 tahun berlalu sejak momen itu. Kini Kang Nandang telah mendapatkan perasaan bahagia yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Momen bersama keluarga. Tertawa bersama karyawannya. Bekerja tanpa beban sedikit pun di hatinya.
Jujur, saya (penulis---red), benar-benar dibuat tak bisa berkata-kata ketika beliau bercerita awal mula usahanya hingga bisa seperti sekarang ini. Pahit getirnya memiliki utang milyaran, pengalaman bangkrut hingga harus menjual motor dan mobil, hingga pernah terpaksa harus tinggal di toko karena rumah sudah dijual.
Pertanyaan yang terus bercokol di hati saya adalah, mengapa Kang Nandang rela meninggalkan dunia kerja yang sudah sangat aman tersebut. Gaji besar. Kantor di pusat jakarta. Penampilan tiap hari necis. Bisa nongkrong terus di kafe-kafe ternama yang harga secangkir kopinya saja, bikin saya garuk-garuk kepala.
Perjalanan dari seorang pegawai Bank, lalu berdagang. Punya outlet pertama di Ruko SPBU Jl. Baru yang kemudian kena musibah kebakaran. Punya outlet di Botani Square yang setelah ganti manajemen, kebijakan jadi berubah. Yang harus dagang keliling door-to-door pakai gerobak ketika itu. Hingga sekarang punya outlet di Jl. Pandu Raya.Â
Ini adalah cerita seorang pejuang. Pejuang keluarga. Pejuang kehidupan. Bahkan, bisa saya bilang, juga pejuang agama.
Mengapa rela meninggalkan pekerjaan?
Kang Nandang hanya tersipu sesaat dan terhenyak mengenang masa lalunya. Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat. Keluarga juga tidak ada yang berasal dari pengusaha. Istri, pada waktu itu, juga tidak mendukung keputusan itu.