PADA SUATU HARI NANTI
Sapardi Djoko Damono
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini,
Kau akan tetap kusiasati.
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. Sapardi dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa diantaranya sangat populer di kalangan umum. Beberapa puisinya sangat populer dan banyak dikenali orang seperti "Aku Ingin", "Hujan Bulan Juni”, dan puisi "Pada Suatu Hari Nanti".
Puisi "Pada Suatu Hari Nanti" karya Sapardi Djoko Damono (SDD) merupakan bentuk ekspresi dari perasaan kasih sayang serta kesetiaan yang dimiliki oleh aku lirik kepada sosok "kau" yang merupakan orang yang dicintainya. Dia menyampaikan bahwa jika suatu hari nanti dia sudah tiada, tetapi dia akan tetap setia menemani sosok "kau" lewat karya-karyanya, jadi seakan-akan keberadaannya itu digantikan oleh larik-larik sajak yang indah yang akan selalu setia menemani orang terkasihnya itu.
Puisi ini mempunyai tema kesetiaan. Kesetiaan terhadap sosok "kau" yang bisa berarti pembaca atau orang yang terkasihnya, walaupun aku lirik dalam puisi ini sudah tidak ada, tetapi aku lirik akan tetap setia ada bagi orang terkasihnya. Dalam puisi ini digambarkan bahwa aku lirik merasa sedih karena pada suatu hari nanti ia akan meninggalkan sosok "kau" pada puisi ini. Sehingga, atas kesetiaan aku lirik menjadikan sajak-sajaknya sebagai suatu hal yang dapat menyiasati kepergiannya tersebut.
Kata-kata yang digunakan dalam puisi ini mudah dipahami, contoh pada kalimat "suatu hari nanti" pembaca bisa mengerti bahwa maksud dari kalimat tersebut adalah pada sesuatu yang akan datang. Lalu pada kata "jasadku tak akan ada lagi" sudah jelas bahwa suatu saat nanti aku lirik tidak akan ada lagi di dunia ini. Dan kata-kata pada bait berikutnya mudah dipahami karena menggambarkan makna yang sebenarnya.
Terdapat gaya bahasa yang ditemukan dalam puisi ini yaitu majas metafora. Majas metafora adalah kiasan yang membandingkan dua hal berbeda dengan mengaitkan satu hal dengan yang lain seperti sama. Terlihat pada larik "tapi dalam bait-bait sajak ini kau takkan kurelakan sendiri" dan pada larik "tapi diantara larik-larik sajak ini" juga "namun disela-sela huruf sajak ini" dalam larik tersebut penggunaan majas metafora digunakan untuk mewakilkan makna yang dimaksud oleh aku lirik mengenai suatu hak yang akan dijadikan sesuatu yang akan membuatnya dapat terus menemani sosok "kau".
Adapun makna dari puisi ini pada bait pertama baris pertama yaitu "pada suatu hari nanti" menjelaskan sesuatu yang akan datang di masa depan. Apa yang terjadi di masa depan itu dijelaskan bahwa "jasadku tak akan ada lagi". Kehidupan ini dikiaskan dengan kata "jasadku" dilanjutkan dengan keterangan "tak akan ada lagi" yang artinya sesuatu yang tak akan kembali. Jadi baris kedua menjelaskan tentang kematian. Pada baris ketiga dan keempat dijelaskan bahwa aku lirik tidak merelakan kehidupannya terhenti hanya karena sebuah kematian dan meninggalkan orang terkasihnya, untuk itu aku lirik menyelipkan kehidupannya di dalam setiap "bait-bait sajak" yang dapat diartikan sebuah karya sastra.
Kemudian makna pada bait kedua baris pertama sama seperti pada bait pertama yaitu menjelaskan sesuatu yang akan datang di masa depan. Lalu pada baris kedua dijelaskan apa yang akan terjadi di masa depan yaitu "suaraku tak terdengar lagi" yang artinya bahwa aku lirik sudah tidak ada di dunia. Pada baris ketiga dan keempat dijelaskan bahwa meskipun aku lirik sudah tidak ada lagi di dunia ini, tetapi sosok "kau" tidak akan berhenti disiasati lewat larik-larik sajak aku lirik.
Pada bait ketiga baris pertama dan kedua memiliki makna yang sama seperti bait pertama dan kedua yaitu tentang ketiadaan aku lirik di dunia ini pada masa yang akan datang. Kemudian pada baris ketiga dan keempat pada kata "Namun di sela-sela sajak ini kau takkan letih-letihnya kucari" aku lirik mengiaskan bahwa kehidupan itu disamakan dengan sela-sela huruf pada kata-kata dalam sajak, yang aku lirik tak akan lelah atau letih mencari tujuannya.
Dalam puisi ini selain memiliki makna kesetiaan dan kasih sayang juga memiliki makna yang sangat dalam yaitu mengenai kefanaan dalam kehidupan. Penulis menyadari bahwa tidak ada yang kekal abadi di dunia yang fana ini. Maka dari itu puisi ini mewakili kehadiran penulis yang sudah tiada untuk menemani kita semua selaku pembaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H