Beberapa bulan lagi, bangsa Indonesia menghelat hajat Nasional. Menentukan 'Imam' seluruh rakyat Indonesia. Pemilihan Presiden (Pilpres) melalui Pemilu. Yang langsung oleh rakyat.
Terhitung, bukan kali ini saja bangsa Indonesia telah menggelar Pilpres secara langsung. Beberapa kali Indonesia sudah pernah memiliki 'pengalaman' sebagai penyelenggara event 5 tahunan tersebut.
Meski belum berlangsung, gaungnya seolah terasa dari sekarang. Sambutan khas ala iklim demokrasi. Pesta rakyat, demikian sebagian kalangan menyebut.
Ber-pesta kah rakyat? Atau menjadi ajang saling hujat?
Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tagline makna demokrasi yang sejak di bangku sekolah diajarkan. Mendudukkan rakyat pada posisi 'penguasa'. Penentu arah kebijakan negara.
Tentu, dengan kesadaran berpikir bahwa demokrasi bukan hanya mencakup secara langsung (direct democracy), namun juga demokrasi perwakilan (indirect democracy). Indonesia, gambaran negara yang salah satunya mengakui sistem demokrasi perwakilan.
Keduanya masih berpangkal pada rakyat. Maka, tidak salah jika pesta demokrasi diidentikkan dengan pesta rakyat. Rakyat 'dimanja' dengan bebas menentukan pilihan politiknya.
LUBER, prinsip yang diakui keberadaannya, namun dalam praktik tidak begitu nampak eksistensinya. Media sosial yang kian menjamur seolah-olah menjadi sarana ekspresi yang tanpa batas. Bahkan, privacy seringkali dicurahkan melalui media sosial, termasuk pilihan politik.
Sepertinya memang itulah salah satu gambaran pesta rakyat. Namun demikiankah esensinya? Keberhasilan pemilu sejatinya tolok ukur keberhasilan demokrasi. Demikian halnya kedewasaan rakyat terhadap proses politik.
Tidak jarang, yang saat ini terjadi, akibat perbedaan pilihan politik justru mengoyak pagar persatuan. Mereka yang tidak berada pada satu barisan politik dianggap lawan.
Bagi politisi, yang demikian adalah hal biasa. Berbeda dengan masyarakat awam yang terkadang cenderung membawa perbedaan hingga pada sendi-sendi kehidupan sosialnya.