Mohon tunggu...
RM Armaya Mangkunegara
RM Armaya Mangkunegara Mohon Tunggu... Dosen - Advokat -

Dosen - Advokat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pesantren, Antara Eksistensi dan Rekognisi

20 Oktober 2018   00:30 Diperbarui: 20 Oktober 2018   13:49 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Catatan sejarah yang menjadi fakta penting adalah keberadaan Pesantren telah lama ada sebelum Republik ini lahir. Bahkan Pesantren dianggap sebagai produk budaya asli (indigenous culture) bangsa Indonesia yang muncul bersamaan dengan proses Islamisasi di Nusantara pada sekitar abad ke-13 M. 

Penyelenggaraan Pesantren bermula dari tempat-tempat pengajian ("nggon ngaji") yang mengajarkan dasar-dasar ilmu keislaman, seperti akidah/tauhid (Islamic theology), fiqh, akhlak, al-Qur'an, hadits, dan nahwu/sharf (Arabic grammar). Bentuk ini kemudian berkembang dengan mendirikan tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantrian atau pesantren. 

Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada saat itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pada saat itu pendidikan ini sangat bergengsi (HM. Suparta, 2014:174).

Era perebutan kemerdekaan, pesantren semakin menunjukkan perannya sebagai garda terdepan menumpas penjajahan di Indonesia. Hingga saat ini pun, lembaga pendidikan pesantren tetap eksis dalam menumpas 'penajajahan moral' bangsa Indonesia. 

Karakternya yang khas, multikultural dan menyesuaikan dengan peradaban menjadi salah satu ciri model pendidikan pesantren. Maka tidak salah jika hingga saat ini pun model pendidikan pesantren tetap diterima di tengah kehidupan masyarakat Indonesia.

Senada dengan hal tersebut, menurut Azyumardi Azra bahwa pesantren merupakan pendidikan agama Islam tradisional di dunia yang mampu bertahan hingga kini karena akomodatif dan bisa melakukan penyesuaian diri, berakulturasi dengan budaya setempat (Azyumardi Azra, 2012:107-116).

Lebih lanjut ditambahkan bahwa pendidikan Islam di Indonesia terus berkembang seperti yang dikenal dengan sebutan pesantren, pondok, surau, dayah, dan madrasah. Pesantren, pondok sebutan untuk wilayah Jawa, surau untuk Sumatera Barat, dayah untuk wilayah Aceh. Pondok, pesantren, surau, dan dayah merupakan pendidikan Islam tradisional yang kurikulum pendidikannya diatur oleh pengasuh (kyai: Jawa), dan sekarang pendidikan Islam tradisional secara umum disebut dengan pesantren. 

Kalau madrasah bisa dikatakan sebagai lembaga pendidikan Islam Indonesia yang modern dan kurikulumnya diatur secara Nasional oleh Kementerian Agama. Pendidikan pesantren mempunya tiga tradisi penting, yaitu tranmisi pengetahuan agama, menjaga tradisi Islam dan ketiga reproduksi ulama (Azyumardi Azra & Dina Afriyanti, 2005:1-4).

Secara umum, dapatlah dikatakan bahwa pesantren memegang peran sentral di bidang agama, budaya, ekonomi, sosial, bahkan dalam bidang politik. Pada bidang agama, pesantren tidak diragukan lagi kiprahnya. 

Pesantren juga konsisten menjaga "tradisi" turun-temurun yang khas dari bangsa Indonesia menunjukkan bahwa budaya pesantren sebagai cerminan budaya asli masyarakat Indonesia. 

Pun, di bidang sosial dan ekonomi, kemandirian pesantren memberikan teladan bagi masyarakat untuk berperilaku berdiri di atas kaki sendiri. Tidak bergantung pada siapa pun baik dari sisi pendanaan maupun sisi yang lain. Dari aspek politik, tidak jarang alumnus pesantren berkiprah di dunia politik. Tidak jarang pula para alumnus tersebut menduduki jabatan publik yang langsung bersinggungan dengan kebijakan implementatif di masyarakat.

Singkatnya, dari sisi eksistensi, Pesantren dengan corak multikultural mampu mempertahankan keberadaannya. Bahkan sampai kapan pun juga, dengan mempertahankan cita rasa perpaduan adat (budaya) dengan proses pendidikan keagamaan terbukti membawa pesantren diterima di tengah kehidupan masyarakat (Indonesia). Lebih jauh Paul C. Gorski, menjelaskan bahwa tujuan pendidikan multikultural sebagai proses transformasi. 

ilustrasi pribadi
ilustrasi pribadi
Ada tiga bagian transformasi yang dilakukan, yaitu; transformasi terhadap diri pribadi (the transformation of self), transformasi pendidikan di sekolah (the transformation of school and schooling), dan transformasi sosial (the transformation of society). 

Ketiga tujuan transformasi ini dimasukkan dalam rumusan kurikulum pendidikan dengan melakukan pemeriksaan dan pengukuran terhadap segala aspek pendidikan, seperti persiapan guru, materi pendidikan, kurikulum, ruang kelas, praktik konseling, dan assessment (Paul C. Gorski, 2005:12-15). Apa yang dikatakan oleh Gorski itupun secara keseluruhan tercover dalam bingkai pesantren.

Bagaimana dengan (pengakuan) oleh negara? Apakah pesantren yang demikian besar kiprahnya pada generasi bangsa (masih) membutuhkan rekognisi dari negara? Tidakkah pesantren bagian yang tak terpisahkan dengan negara? 

Memang tidak dapat dipungkiri pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul sebagai reaksi atas besarnya (jasa) pesantren pada negara. Namun, di muka telah disinggung bahwa secara historis justru pesantren lah yang ikut 'membidani' lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. 

Terlebih, mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi salah satu elemen penting tujuan pendidikan pesantren termaktub pula sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia (Pembukaan UUD NRI 1945). 

Jadi, kalau berkaca pada landasan filosofis demikian, sebenarnya justru negara yang mendapatkan pengakuan dari pesantren. Sekarang tinggal negara, bagaimana akan bertindak terhadap pihak yang berjasa padanya. Menyingkirkan, mendiskreditkan atau memberikan penghargaan?

Telaah lain dari aspek nilai kepesantrenan, hampir dapat dipastikan para pengajar (sebutan penulis) di pesantren, tidak ada satu pun yang berharap imbal balik atas tindakan yang dilakukan pada santri nya. 

Semata-mata hanya menjalankan perintah agama, mentransformasi keilmuan agama dan mencerdaskan kehidupan bangsanya sebagai bagian hubbul wathon. Maka jika berbondong-bondong muncul serangkaian pendapat bahwa kelahiran RUU LPKP dalam rangka melegitimasi rekognisi negara pada pesantren, hemat penulis perlu dilakukan kajian mengenai standard nilai di pesantren. 

Ataukah justru memang nilai-nilai kepesantrenan sudah berubah? Sejak kecil hingga saat ini penulis hidup di tengah iklim pesantren. Sampai saat ini pula, nilai itu tetap dan tidak berubah.

Berdasarkan penelitian Marzuki, dkk., dalam temuannya menjelaskan bahwa pesantren mampu mewujudkan pendidikan Islam multikultural. Kalangan pesantren bisa mengintegrasikan antara tradisi lama dan tradisi baru. 

Landasan yang dipakai itu inklusif, terbuka, dan mampu mengambil hal-hal baru untuk menerima perkembangan yang baru untuk kebaikan, sehingga pesantren bisa mengikuti arus modernitas, ataupun globalisasi, baik dalam hal pemikiran Islam, praktik pendidikan dan interaksi antar golongan. 

Pesantren banyak melahirkan tokoh-tokoh lokal maupun nasional yang pemikirannya inklusif dan moderat. Islam yang dibawa dan dikembangkan adalah Islam yang ramah, moderat, toleran dan sarat dengan nilai-nilai multikultural (Marzuki, 2010).

Kemudian Badrus Sholeh melihat pesantren mampu menyatu antara kajian Islam Timur Tengah bersama dengan tradisi lokal dan masyarakat. Penyatuan tradisi ini membuat karakteristik Islam Indonesia berbeda dengan Islam Timur Tengah ataupun yang lainnya. 

Pesantren mempunyai peran strategis lain selain berperan sebagai lembaga pendidikan Islam, yaitu mengembangkan perdamaian dan mewarnai perjalanan peradaban di sekitarnya. 

Penelitian yang dilakukan Badrus Sholeh ini untuk mengetahui peran pesantren secara dekat dalam hal peran pesantren sebagai titik temu sebuah perdamaian konflik sosial dan akulturasi dengan kearifan lokal (Badrus Sholeh, 2005:327-347).

Prinsipnya, pembicaraan pada tataran nilai baik dari segi budaya maupun peradaban pesantren sungguh kompleks dan tidak ada habisnya. Bahkan penulis dapat katakan, pesantren merupakan cerminan mewakili nilai yang berkembang di masyarakat, sebab hakikatnya pesantren pun ada dan hidup di tengah kehidupan masyarakat. 

Mengidentifikasi pesantren dengan mengintegrasikan pada elemen peraturan perundang-undangan sebenarnya menyempitkan cakupan yang "diemban" oleh pesantren. Namun juga tidak dapat disalahkan, jika langkah-langkah akomodatif pesantren pada sistem hukum nasional dianggap sebagai upaya menjamin kepastian hukum sebagai bagian dari tujuan hukum. Meskipun kepastian hukum dan keadilan sebagai tujuan hukum masih menjadi dua kutub yang berlainan (antinomi).

Dalam konteks sistem hukum nasional, memayungi tindakan publik dengan produk hukum hampir dapat dipastikan menjadi keharusan. Apalagi pada hal-hal yang berkaitan dengan anggaran. Ini pun, penulis cermati juga menjadi bagian yang melatarbelakangi lahirnya RUU LPKP. 

Penulis memang tidak menyinggung secara konseptual substansi RUU LPKP mengingat terdapat beberapa versi (karena memang masih dalam taraf pembahasan). Sedapat yang penulis ketahui, salah satu hal yang didengungkan pada RUU LPKP adalah adanya alokasi anggaran sebanyak 10% dari APBN maupun APBD untuk pendidikan. Memang, dalam hal anggaran perlu adanya kejelasan payung hukum.

Secara teoretis, pengakuan dapat berbentuk de facto maupun de jure. Terminologi pesantren, dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah disebut-sebut. Khususnya pada bagian pendidikan keagamaan. 

Menurut penulis, penyebutan frasa pesantren pada UU Sisdiknas juga merupakan pengakuan. Selain pengakuan-pengakuan oleh negara sebagaimana telah penulis uraikan di awal pembahasan sub ini.

Pasal 30 ayat (4) UU Sisdiknas menyatakan bahwa Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Selanjutnya, dalam ayat (5) dinyatakan bahwa Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 

Maka tidak salah, pada tahun 2007 terdapat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 30 ayat (5) UU Sisdiknas tersebut.

 Penjelasan ini menunjukkan bahwa sebenarnya, pesantren baik secara de facto maupun de jure telah mendapatkan tempat dan diakui keberadaannya oleh negara. Sebaliknya, jauh sebelum negara ini lahir, justru pesantren telah mengakui keberadaan negara Republik Indonesia.

***

Bacaan

- Ayumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi Dan Modernisasi di Tengah Tantangan Mellinium III, (Jakarta: Kencana, 2012).
- Azyumardi Azra & Dina Afriyanti, "Pesantren and Madrasa: Modernization Of Indonesian Muslim Society", Paper Presented Workshop on Madrasa, Modernity and Islamic Education Boston University, Cura (May, 6-7, 2005).
- Badrus Sholeh, "'Pesantren, Peace Building And Empowerment': A Study Of Community Based Peace Building Initiative," Al-Jami'ah, Vol. 43, No. 2, (2005/1426 H).
- Marzuki, Muhammada Murdiono, Miftahuddin, Tipologi Perubahan Dan Model Pendidikan Multikultural Pesantren Salaf, Laporan Penelitian Strategis Nasional Tahun Anggaran 2010, UNY (2010).
- H.M. Suparta, Masa Depan Pesantren Pasca UU 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Jurnal Studi Keislaman, Vol. 14 No. 1, Juni 2014.
- Paul C. Gorski, Multicultural Education and the Internet Intersection and Integrations, (New York: McGraw-Hill, 2005)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun