Saat itu umur mereka belum genap tujuh dan sepuluh tahun. Yusuf pun menyadari hal itu, kedukaan semacam ini masih terlalu dini untuk bisa dirasakan kedua anaknya. Bintang menangis ambil memegangi tangannya yang sedang memanjatkan do’a, sementara Awan yang posisinya berseberangan dari dirinya terlihat duduk mematung memandangi pusara Bu Muniroh.
Ajis yang duduk bersisian dengan Hendar mencoba menahan air matanya untuk tidak kembali jatuh.
Pagi, setelah di salatkan, Bu Muniroh memang langsung dikebumikan di pemakaman umun tak jauh dari kediamannya. Banyak kerabat juga tetangga yang mengantar ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Terima kasih, Bu, ucap Yusuf pada dirinya sendiri. “Sudah, tidak boleh nagis. Kita yang masih diberi hidup hanya perlu berdo’a,” ucap Yusuf pelan, kali ini kepada Bintang.
“Nenek, Pak,” Bintang masih menangis.
Kali ini Yusuf merengkuh tubuh kecil bintang, membawanya duduk di pangkuannya, mengangkat kedua tangan Bintang bersama dengan tangannya. “Kita berdo’a sama-sama.”
Bintang mengangguk sambil mencoba menahan tangisnya.
“Ya Allah, berikanlah tempat yang lapang untuk Ambu, Bapak dan Bu Muniroh.”
Bintang mendengarnya dengan jelas, do’a yang singkat sebelum mereka meninggalkan pusara Bu Muniroh. Bersama desau angin, do’a yang dipanjatkan Bapaknya itu ia lafalkan kembali, meski di dalam hati.
Dari seberang mereka, Awan memerhatikan. Tanpa suara tangis, entah mengapa air mata itu turun.
Hendar mengusap kepalanya lembut.[]