Mohon tunggu...
Rizky Kurniawan
Rizky Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pribadi

Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Syekh-Yusuf Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bisakah Kita Keluar dari Mangkuk?

6 Juni 2017   16:29 Diperbarui: 7 Juni 2017   19:03 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pict by mastergrosir

Sudut kanan dan sudut kiri, kutub utara dan kutub selatan, blok A dan Blok B, golongan anu dan golongan anu, entah apa lagi sebutannya.

Apakah kamu juga orangnya, yang merasa bangsa ini diterbagi dalam dua kubu besar? Atau apa kamu jugakah orangnya, yang menanyakan mengapa hal demikian bisa terjadi?

Geliat perbedaan yang amat kental mungkin terasa pertama kali dalam gelaran pilpres 2014, di mana hanya dua pasangan calon yang maju ketahap pemilihan langsung. Pemilih terbagi ke dalam dua mangkuk, antara sosok yang dirasa sederhana dan merakyat, serta sosok yang dinilai memiliki power.

Mangkuk itu terus ditempati masyarakat lewat isu-isu seksi yang bekelanjutan. Antara mereka menyebut diri mereka mencintai agamanya dan meraka yang paling berbhineka tunggal ika. Antara gubernur petaha dan gubernur baru. Antara mereka yang pancasilais dan kurang pancasilais, serta antara-antara yang banyak lagi.

Sampai yang paling hangat misalnya, tulisan seorang bocah SMA yang menyerukan pluralisme yang lantas viral dan membuatnya diundang ke berbagai media nasional bahkan ke istana negara, pun membentuk antara. Antara yang setuju warisan dan bukan warisan sampai dengan kasuk plagiat yang membelit bocah itu lewat salah satu tulisannya.

Mangkuk adalah mangkuk. Sebuah wadah yang pinggirannya melengkung, yang jika semut dimasukkan ke dalamnya, maka dia harus memanjat mangkuk untuk bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Banyak orang yang berpindah mangkuk. Ada juga mereka yang bosan berada di dalam mangkuk, maka memutuskan keluar tanpa masuk ke mangkuk lainnya.

Lantas, selain mereka yang jenagah, bagaimana kemudian cara mereka yang masih betah berdiam diri di dalam mangkuk untuk keluar, atau paling tidak menengok ke luar untuk melihat apa yang terjadi?

Coba lihat di sekeliling kita, berapa banyak orang yang mengeluh secara langusung tentang keberatannya kepada apa-apa yang terjedi di negara ini. Kenaikan listrik misalnya, atau kenaikan harga BBM? Jika dulu banyak mahasiswa turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi, maka sekarang pun ada. Tapi apakah sebesar dulu? Rasanya kita semua menyangsikan hal tersebut.

Jaman telah berubah. Forum online, dan media sosial seolah menjadi wadah yang pas untuk menyuarakan aspirasi. Tentu saja itu hal postif, tapi masalahnya tidak semua orang menyuarakan aspirasi. Ya, masih banyak netizen yang menganggap bahwa akun media sosial adalah ruang privasi, sehingga sudah menjadi hak mereka untuk berpendapat apa saja mengenai sebuah isu, seolah tidak peduli apakah yang ditulis terkesan provokatif dan menebar kebencian.

Sosial media juga menjadi ladang subur untuk membuat dan saling sebar berita bohong, yang akhirnya menimbulkan perselisihan tidak hanya kepada mereka yang berbeda suku, tapi juga mereka yang berteman sejak kecil.

Pada akhirnya, suka atau tidak kita bisa menyebut bahwa media sosialah salah satunya yang membuat kita terus saja berada di dalam mangkuk.

Lantas kembali kepada pertanyaan sebelumnya, bagaimana kita keluar?

Mungkin, kita perlu mengingat-ingat kembali nasehat orang tua kita kala kecil dulu. Hal ini juga pernah diajari oleh guru ketika Sekolah Dasar. Ya, norma kesopanan. Dulu kita diminta santun dalam bertutur dan berperilaku. Saat ini agaknya kita juga perlalu melakukan hal yang demikian tidak hanya dalam lingkup sosial kita secara nyata, tapi juga dalam lingkup sosial kita secara ‘maya’.

Kemudian, ingat bahwa undang-undang kita juga mengatur bagaimana melakukan transaksi elektronik. Jangan sampai apa yang kita ungkap atau utarakan lewat sosial media justru menjadi bumerang untuk kita sendiri.

Dan yang terakhir adalah—lebih dikhususkan bagi umat islam—yang baru-baru ini MUI keluarkan. Ya, fatwa terkait Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Perlunya kita melakukan tabayyun serta tidak bergosip dan menebar kebencian melalui media sosial. Dari sini kita diharapkan bisa bercermin, dan bijak dalam bermedia sosial.

Menyoal poin terakhir soal fatwa MUI misalnya, kita akan tetap terbagi kedalam dua mangkuk besar. Antara yang menggap fatwa ini pesanan dan yang menganggap fatwa ini telat hadir. Ya, begitulah ... entah apakah kita semua bisa keluar dari mangkuk atau tidak. Harapan bisa keluar tentunya jauh lebih besar, karena semut yang berada di dalam mangkuk akan terjebak jika seseorang menuangkan air kedalamnya.

Salam santun ....

Rizky K.

NB: Kita suka yang digoreng-goreng, sih, makanya tukang gorengan laku. Eh, tapi percaya, deh. Makan gorengan yang digoreng dari minyak yang itu-itu aja bisa mengganggu kesehatan, lho. Jadi, bijaklah dalam memakan gorengan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun