Tahun lalu, tepat saat Ramadhan saya mengajak istri saya Iris dan anak saya makan bersama di sebuah cafe Jakarta. Seperti biasa macetnya na'uzubillah akhirnya saya memutuskan untuk masuk jalur TransJakarta menuju ke rumah. Saat di  Jalan Arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan ternyata ada polisi patroli. Saya tarik napas panjang, saya salah saya berhenti.
Namun saya sempat membelalak, motor di depan saya yang harusnya juga ditilang malah dilepas. Si pengendara motor dan polisi saling memberi kode. Wah, saya kaget dengan cara polisi ini bekerja, bisa-bisanya tebang pilih bahkan saat bulan suci pula.
Saya membuka kaca mobil dan protes, "Pak saya tidak apa-apa ditilang, saya salah tetapi pengendara motor tadi kenapa tidak ditilang ya Pak?" kata saya. Dia berkelit, saya akhirnya memutuskan turun sembari memerlihatkan semua surat kendaraan saya. Saya perhatikan mobil Roll Royce di belakang juga tidak ditilang sama sekali, sopir memberi kode ke polisi, polisinya mengangguk.
Darah saya naik, "Pak itu kok di belakang saya gak ditilang juga? Kami sama-sama masuk jalur busway. Saya gak masalah ditilang tapi Bapak harus adil dong" ini saya benar-bebar protes sebagai orang yang mengerti hukum dan sebagai pengingat buat penegak hukum. Akan tetapi polisinya tampak ragu-ragu, dia berusaha berkelit lagi.
Tiba-tiba saat saya protes ke polisi, seseorang dari kursi penumpang di mobil Roll Royce langsung menghampiri saya dan meninju pipi saya. Wajah saya panas, Â tidak berhenti dia berusaha kembali meninju saya, otomatis saya mempertahankan diri juga berusaha melawan. Tiba-tiba sopirnya datang ikut mengeroyok saya. Saya dikepung, saya berusaha bertahan, akhirnya saya roboh di jalan raya. Mata saya mencari polisi, polisinya diam. Iya, polisinya tidak berusaha melerai sedikitpun, tidak berusaha memberhentikan keroyokan 2 lelaki itu.
Yang ada saat saya sepertinya sudah hampir pingsan. Saya dengar teriakan ketakutan Iris, dua anak saya menangis kencang. Lelaki berkumis itu menginjak wajah saya, saya tergeletak lunglai. Istri saya yang dari tadi teriak berusaha melerai. Harusnya sebagai lelaki jantan lelaki berkumis itu berhenti. Tetapi tidak, ia malah menampar, bahkan mendorong Iris sehingga terjatuh ke badan saya. Melihat istri saya ikut dianiaya saya berusaha bangkit membalas perlakuan dua lelaki itu.
Beberapa pengendara yang baru sadar ada penganiayaan ini berdatangan dan melerai. Dua pelaku itu segera  masuk ke mobil Roll Royce-nya  dan melarikan diri. Saya bangkit menatap polisi dan berteriak. "Saya tidak terima ya Pak, Bapak harus bantu saya untuk melaporkan ini ke Polda. Bapak saksinya," teriak saya. Dia mengiyakan dengan wajah bersalah, kami janjian di sebuah mesjid dekat jalur busway itu. Namun, dia tidak pernah datang.
Saya membantu Iris masuk mobil dan mengejar Roll Royce itu. Entah kenapa untungnya saya ditunjuki Tuhan. Saya segera ambil ponsel, dan memoto Rolls Royce Phantom bernomor pelat B88NTT itu. Roll Royce itu kabur tetapi saya tidak tinggal diam.
Malamnya  dengan pertolongan teman-teman saya, akhirnya saya ketemu pemiliknya. Saya cek wajahnya di google, bagaimana mungkin saya bisa lupa dengan wajah orang yang menganiaya saya. Itulah dia pertemuan pertama saya dengan Herman Hery, lelaki berkumis, yang meninju, melakukan pengeroyokan, bahkan menginjak wajah saya. Bagaimana mungkin saya lupa dengan wajah itu, itu Herman Hery, bukan adiknya, bukan sepupunya. Itu Herman Hery Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP. Herman Hery yang saat menyebut namanya saja saya teringat teriakan ketakutan istri saya, tangisan perih 2 anak saya.
Pak Jokowi sebentar lagi ramadhan, kasus saya ulang tahun pertama. Bantu saya mencari keadilan di era Bapak jadi Presiden ini Pak.
Herman Hery mari bertemu kedua kalinya di persidangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H