Mohon tunggu...
Regulasi Kebijakan Komunikasi
Regulasi Kebijakan Komunikasi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemilik

Blog ini dibuat oleh beberapa mahasiswa Ilmu Komunikasi Angkatan 2019 Universitas Atma Jaya Yogyakarta sebagai pemenuhan tugas Regulasi dan Kebijakan Komunikasi. Like dan comment dari pembaca akan sangat berarti bagi tugas kami. Terima Kasih!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebijakan Komunikasi di Bidang Media Cetak II (Tahun 1945 - 2020)

21 Maret 2021   18:51 Diperbarui: 21 Maret 2021   19:04 1185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Masa Orde Lama

Pada masa Orde Lama, ketentuan pers yang berisi tentang peraturan yang membatasi gerak pers (seperti pengawasan represif dan sensor preventif yang ada pada masa kolonial Belanda) telah dicabut. 

Pencabutan ini tertuang dalam UU Nomor 16 tentang Sarana Publikasi dan Komunikasi. Kemudian pada 2 Agustus 1954 diterbitkan UU No. 23 Tahun 1954 (Lembaran Negara 54-77) tentang penghapusan Persbreidel Ordonantie. 

Penghapusan ini dilakukan karena tidak sesuai dengan pasal 19 UUDS. Penghapusan ini juga dilatarbelakangi oleh perjuangan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Walaupun Persbreidel Ordonantie dihapuskan, melalui Kepala Staf Angkatan Darat, pemerintah mengeluarkan peraturan yang dimaksudkan untuk mengekang kebebasan pers yaitu Peraturan No. PKM/001/0/1956 pada 14 September 1956. Namun karena peraturan tersebut mirip dengan Haatzai Artikelen, peraturan ini kemudian menuai protes dari PWI dan pada 28 November 1957 peraturan ini dicabut oleh KASAD Mayor Jenderal A.H Nasution.

Pers pada masa ini memberitakan tentang pertikaian antar partai politik,  sehingga kemudian dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1963 tentang Pembinaan Pers. 

Pada bab II Pasal 6 dari peraturan ini disebutkan bahwa surat kabar dan majalah harus memiliki izin terbit terlebih dahulu dan berlaku sampai tahun 1966. Selain itu, Pers yang menentang Ideologi Nasakom juga akan dibredel. Hal ini berlangsung sampai keruntuhan pemerintahan Orde Lama.

Masa Orde Baru

Pada awal masa orde baru, kehidupan Pers Indonesia mulai mendapat kebebasan. Pers masa orde baru sering disebut dengan istilah Pers Pancasila dengan hakikat pers yang sehat, bebas, bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi, serta dapat menjadi jembatan aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. 

Selain itu, terdapat UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers yang menyatakan bahwa pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan dan kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara serta penerbitan tidak memerlukan surat izin. 

Namun pada kenyataannya, penerbitan surat kabar masih dikontrol dengan kewajiban memiliki dua izin, yaitu Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga keamanan militer KOPKAMTIB.

Kebebasan Pers mulai menghilang dan kembali ke era orde lama ketika terjadi peristiwa Malapetaka Limabelas Januari atau Malari pada 15 Januari 1974. 

Setelah itu, pada tahun 1974 dan tahun 1978 industri pers mengalami pembredelan dengan 12 pers yang kehilangan surat izin dan beberapa wartawan ditangkap serta puluhan lain didaftar hitamkan. 

Lalu pada tahun 1978, terjadi penutupan tujuh harian yang terbit di Jakarta karena liputannya yang mendukung aksi demonstrasi mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru. 

Contoh surat kabar yang mengalami pembredelan pada masa itu yaitu harian Nusantara, harian Suluh Berita, surat kabar mingguan kampus Mahasiswa Indonesia, surat kabar Kami, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, dan masih banyak lagi.

Pada paruh pertama pemerintahan Orde Baru, terdapat banyak variasi bentuk media massa dan pola peredarannya, tetapi mulai terbatas ketika dilakukan regulasi terhadap terbitan khusus semacam pers mahasiswa pada 31 Mei 1980, yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Penerangan RI tentang penerbitan kampus. 

Penerbitan kampus dibagi menjadi 3 kategori: pers kampus, pers kampus mahasiswa, dan pers mahasiswa. UU Nomor 11 Tahun 1966 diganti menjadi UU Nomor 21 Tahun 1982 yang mengatur surat izin pers. 

Pada Pasal 13 ayat (5) disebutkan bahwa setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Semua penerbitan pers di bawah pengawasan pemerintah melalui Departemen Penerangan.

Masa Reformasi

Masa reformasi adalah awal dari pencerahan kebebasan pers. Pada masa reformasi juga kekuasaan Soeharto sudah habis yang kemudian digantikan oleh BJ Habibie pada tahun 1998. 

Langkah pertama yang diambil dalam kebebasan pers adalah pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau bisa dikenal juga dengan SIUPP. Kemudian pemerintah juga menghapus Departemen Penerangan yang sebelumnya memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menekan pers pada saat itu. 

Lalu, muncul juga UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk mengembalikan kebebasan pers. Dalam Undang-Undang tersebut juga terdapat pasal 1 ayat 4 yang menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan pasal 4 ayat 2 yang berisi pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau juga pelarangan penyiaran.

Sampai pada masa sekarang, ada juga kebijakan yang masih bertahan dari masa pemerintahan sebelumnya. Kebijakan tersebut adalah Haatzai Artikelen yang bertransformasi menjadi UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau biasa disebut UU ITE, kebijakan ini sudah ada dari masa jajahan Belanda dan kemudian diwariskan sampai sekarang. 

Kebijakan Haatzai Artikelen pada awalnya dibuat untuk memberikan sanksi pidana terhadap pers yang menyebarkan ujaran permusuhan, kebencian, dan penghinaan yang ditujukan kepada Belanda. Kemudian, Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 28 ayat 2 menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Bagi individu atau kelompok yang melanggar pasal 28 ayat 2 akan diberikan sanksi.

DAFTAR PUSTAKA

Abar, A. (1995). Kisah Pers Indonesia 1996-1974. Yogyakarta: LKiS.

Achmad, Z. A. (2014). Perbandingan Sistem Pers dan Sistem Pers di Indonesia. Surabaya: Lutfansah Mediatama.

Hidayat, D. (2000). Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia.

Hill, T. (2011). Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun