Matahari sudah hampir tertidur hari itu, duduk di tengah kerumunan yang tidak kita pedulikan, mendengarkanmu bercerita tentang masa lalu dan kuingat saat kau bertanya,
Tuan, berapa umurmu?
Aku berumur empat puluh menit, jawabku.
Lantas bingungmu membuatku tersipu malu akan indahnya senyuman itu.
Seraya kuberceloteh; berikan aku anak perempuan memiliki keras hatimu dan emosimu
Berikan aku anak yang memiliki mata hitam pekat yang cerah dan senyumanmu yang menyihir, agar dunia tetap mengenal kita setelah kita tiada, dan itu alasanku mencintaimu.
Jangan kagumi aku dengan matamu, mungkin kamu bisa menemukan mata yang lebih indah dari mataku, kagumi aku dengan hatimu, karena hati tidak pernah berbohong.
akupun takut posisiku diambil orang
dirinya yang beruntung dan berani
dirinya yang menggoda mata indahmu, sementara aku tergila-gila akan mereka
jika suatu hari kamu bertanya, siapa yang lebih penting, hidupmu atau hidupku? aku akan jawab hidupku, lantas kamu akan pergi meninggalkanku, dan lupa bahwa kamulah hidupku
semua hal berlabuh padamu, meskipun aku mencoba melupakanmu
jika itu adalah kertas, aku akan merobeknya
jika itu adalah botol, aku akan memecahkannya
jika itu adalah tembok, aku akan merobohkannya
tapi itu, hatiku
Karena pertemuan ini hanya empat puluh menit, dan setelahnya, hidupku tak sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H