Ahli politik menganggap kematian adalah kehancuran jabatan, bagi yang demokrasi mungkin tenang, namun bagi yang monarki, kiamat pribadi jika ia detik-detik sakaratul maut ia tak punya keturunan.Â
Hartawan gelagapan ketika Izrail mengetuk pintu raga nya, dingin terasa olehnya berpikir tentang adakah yang mencuri brangkasnya.Â
Lalu, yang agamis, mereka merasa kematian bukanlah kesedihan, bonsai kecil yang mereka tanam sedari belajar agama sudah menjadi beringin yang meneduhkan.Â
Sisanya tinggal si miskin, yang hidup tak mampu, mati belum tiba waktu, menjadi beban dari si kaya dan senjata politik bagi yang bisa.
Aku, sedari kecil diajari Ayahku untuk mendalami agama, tapi Ayahku lupa kita hidup di dunia, karena belajar agama terlalu dalam, aku pun tenggelam di dalamnya, terkadang lupa kalau aku tidak lihai berenang, akhirnya aku keluar dari lautan agama, untuk mencari dunia, keluar darinya, mendekati politik aku ditipu, mendekati jutawan aku dihina dan menjadi miskin sepertinya sangat nyaman.
Pernah melihat tukang ojeg di pangkalan?
Mereka masih bisa tertawa bahagia ditemani papan catur, secangkir kopi dan di bibirnya sedang ada rokok bertengger. Ia di pangkalan sedari pagi hingga malam, mulutnya tertawa tapi hatinya berpikir, anak istriku makan apa ya nanti di rumah, ah nanti juga ada, jawab hati kecilnya.
Ironi, hati kecilnya didengar oleh si waktu,
dan waktu tidak memberikan "nanti" untuknya.
Tanpa tukang ojeg itu sadari, ia mentertawakan kematian.