Hari-hari berikutnya menjadi semakin tegang. Liliana mulai menunjukkan sikap yang lebih agresif, terutama terhadap Ariana. Ia sering melontarkan komentar sinis atau melakukan hal-hal kecil yang membuat Ariana merasa tidak nyaman. Kenandra memperhatikan semuanya dari kejauhan, mencoba mencari cara untuk melindungi Ariana tanpa memperburuk situasi.
Suatu malam, ketika semua orang sudah tidur, Kenandra mendengar suara pintu terbuka. Ia mengintip dari balik pintu kamarnya dan melihat Ariana berjalan perlahan menuju taman belakang. Rasa penasaran membuatnya mengikuti gadis itu dalam diam.
Di taman, Ariana duduk di bangku kayu, memandang langit malam yang dipenuhi bintang.
“Kak Ken, kau mengikutiku?” tanyanya tanpa menoleh.
Kenandra terkejut, tetapi ia segera berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.
“Apa yang kau lakukan di sini malam-malam begini?” tanyanya. Ariana tersenyum tipis.
“Kadang, aku merasa sulit bernapas di dalam rumah itu. Di sini, aku merasa lebih bebas.”
Kenandra tidak menjawab. Ia hanya memandang wajah Ariana yang tampak damai di bawah cahaya bulan. Banyak hal tentang gadis ini yang selalu menarik perhatiannya, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, ia tahu batasannya. Ariana adalah adik tirinya, dan apa pun yang ia rasakan tidak boleh melampaui hubungan itu.
“Kenapa kau selalu membiarkan Liliana memperlakukanmu seperti itu?”
Ariana menundukkan kepala, rambut panjangnya jatuh menutupi wajahnya.