Perjanjian Cotonou
Tidak dapat dipungkiri negara ACP sangat banyak akan sumber daya alam, namun di kawasan regional tersebut masih muda terjadinya konflik, hal itulah merupakan salah satu penyebab Kawasan tersebut terhambat secara faktor ekonominya. Sehingga hal ini membuat negara-negara maju, seperti Uni Eropa tidak segan untuk mengajukan kerjasama agar dapat tetap memenuhi kebutuhan sumber daya alam mereka. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa kolonial merupakan salah satu dari aspek ketergantungan, sama halnya denga napa yang dialami oleh negara ACP khususnya Afrika dengan sejarah politik apartheid yang meninggalkan kemiskinan dan juga banyaknya pengangguran. Uni Eropa menyepakati adanya perjanjian ini dengan dalih juga ingin memenuhi kepentingan nasional mereka, lain hal dengan negara ACP yang ingin memberantas kemiskinan dan jalannya pembangunan nasional pada negara-negara tersebut. (KALISHTA, 2016)
Ketidaksetaraan negara terjadi pada Perjanjian Cotonau, hal ini dikarenakan adanya ketergantungan terhadap bantuan sepihak. Perjanjian ini dinilai lebih bermanfaat pada pembangungan regional individu daripada tujuan awal dari perjanjian ini, yaitu pengurangan ketimpangan global. Yang harusnya perjanjian ini menguntungkan semua pihak, tapi pada kenyataanya perjanjian ini memiliki dampak negatif pada industry pengolahan makanan regionalnya terhadap produk dari pesaing. Tak hanya itu perjanjian ini juga memiliki dampak buruk, seperti pelemahan harga lokal di negara ACP. Perjanjian ini dikritik oleh Uni Afrika, yang mengatakan bahwa dengan adanya perjanjian ini negara ACP bukanlah negara yang setara dan juga dinilai tidak independen. Sejalannya dengan perjanjian ini, menyebabkan negara ACP secara terus-menerus meminta adanya hubungan perdagangan, investasi asing langsung, dan bantuan pembangunan. (FARNY, 2016)Â
Kesimpulan
Adanya Perjanjian Cotonou yang terjalin antara Uni Eropa dengan 78 negara ACP, yang berasaskan pada tiga pilar, yaitu bantuan, perdagangan, dan dimensi politik. Perjanjian Cotonou sendiri merupakan pembaruan dari Konvensi Lome (1975) yang terjadi dalam rentan waktu 20 tahun. Namun dengan adanya perjanjian ini, justru membuat negara ACP memiliki sifat ketergantungan. Yang juga menegaskan bahwa ekonomi global menjadi akibat dari keterbelakangan mereka. Pasalnya negara ACP sebagai pemasok bahan mentah untuk Uni Eropa. Terjadinya konflik merupakan salah satu faktor terjadinya ekonomi negara ACP terhambat. Meskipun begitu kedua negara sama-sama saling mebutuhkan satu sama lain sebagai cara untuk memenuhi kepentingan nasional mereka, Uni Eropa sebagai aktor pemberi investasi asing, sedangkan negara ACP sebagai pemasok bahan mentah.
Referensi
FARNY, E. (2016). Dependency Theory: A Useful Tool for Analyzing Global Inequalities Today? E-International Relations, 1-9.
KALISHTA, A. N. (2016). PENGARUH PERJANJIAN COTONOU TERHADAP PEREKONOMIAN AFRIKA SELATAN 2000-2014 "THE IMPACT OF COTONOU AGREEMENT TOWARDS SOUTH AFRICA'S ECONOMY 2000-2014. Yogyakarta: Repository UMY.
Laakso, L. (2007). Politics and partnership in the Cotonou. PARTNERSHIP AND POLITICS, 116-141.
Munro, A. (2024, Oktober 1). dependency theory. Retrieved from Britannica: https://www.britannica.com/topic/dependency-theory
Post-Cotonou Agreement. (2023, November 15). Retrieved from Europian Council: Council of The Euripian Union: https://www.consilium.europa.eu/en/policies/cotonou-agreement/