Mohon tunggu...
Ratu JenitaPratiwi
Ratu JenitaPratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengingat Perjanjian Cotonou: Perjanjian Uni Eropa dengan Negara ACP

23 Oktober 2024   01:19 Diperbarui: 23 Oktober 2024   01:39 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang

Pada tahun 2000 telah tercipta suatu perjanjian antara Uni Eropa dengan 78 negara ACP (Africa, Caribbean, and Pacific) yang berasas pada tiga pilar yaitu pembangunan, perdagangan, dan dimensi politik. Perjanjian Cotonou yang berfokus pada pemberantasan kemiskinan, pembangunan berkelanjutan, dan integrasi dari negara ACP pada ekonomi dunia. (Laakso, 2007)

Perjanjian Cotonou sendiri merupakan bentuk baru dari Konvensi Lome pada tahun 1975 dan disepakati oleh kedua belah pihak dengan rentan waktu 20 tahun. Pada pilar pembangunan Uni Eropa menciptakan program untuk menunjang pertumbuhan dan pembangunan pada sektor ekonomi di negara-negara ACP. Pada pilar perdagangan Uni Eropa mencetuskan EPA (Economic Partnership Agreement) yang dilakukan oleh 79 negara ACP dan dilakukan secara berkala. Adapun pada pilar dimensi politik, Uni Eropa dan negara ACP menciptakan kebijakan migrasi yang komprehensif, kerjasama ini untuk mengatasi masalah transit, migrasi ilegal, dan imigran ilegal.

Tentunya pada perjanjian ini terdapat prosedur konsultasi, yaitu pasal 96. Prosedur ini dilakukan bilamana salah satu pihak menyalahi aturan perjanjian yang bersinggungan dengan hak asasi manusia, prinsip demokrasi, dan supermasi hukum. Maka pihak lainnya dapat mengambil tindakan. (Post-Cotonou Agreement, 2023)

Didalam perjanjian ini Uni Eropa sebagai negara dunia pertama menempatkan dirinya sebagai good governance, yang artinya Uni Eropa sebagai pengelola kebijakan sosial ekonomi, pengambilan keputusan, serta penanggungjawab keuangan. (KALISHTA, 2016)

 

Teori Ketergantungan

Namun dengan adanya perjanjian ini, menyebabkan sifat ketergantungan yang dimiliki oleh negara ACP terhadap negara Uni Eropa. Teoria tau sifat ketergantungan sendiri memiliki definisi dimana kondisi ekonomi negara atau dunia ketiga bergantung pada negara dunia pertama. Teori ini menjelaskan bahwa negara-negara yang masih sulit dengan ekonomi global merupakan sumber dari keterbelakangan mereka. (Smith, 2018)

Menurut teori ini juga negara-negara pinggiran memiliki keterbelakangan sebagai akibat dari ekonomi dunia. Hal ini ditandai dengan negara terbelakang yang selalu menawarkan tenaga kerja dan bahan baku mentah di pasar global untuk dijadikan barang jadi oleh negara yang maju, sehingga menyebabkan negara terbelakang mengkonsumsi barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi. Hasil dari praktik ini sangatlah merugikan pihak negara terbelakang yang sulit untuk terhindar dari posisi negara hanya sebagai pemasok bahan mentah. (Munro, 2024)

Dapat dikatakan bahwa teori ini sebagai representasi dari negara-negara pinggiran untuk menentang hegemoni ekonomi, politik, budaya, dan intelektual dari negara-negara maju. Menurut Paul Presibich adanya praktik ini cenderung menciptakan masalah baru bagi ekonomi negara terbelakang. Mengutip dari kajian Dos Santos ketergantungan dibedakan menjadi tiga ketergantungan kolonial, finansial, dan teknologis industrial. (Teori Ketergantungan , n.d.)


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun