Pendahuluan
Tulisan ini sebagai bentuk apresiasi (uplaus dan kritik) terhadap pementasan teater Pilar berjudul "Warisan Yang Hidup" yang dipentaskan di depan pelataran kampus II IFTK Ledalero Sabtu (9/11/2024) dan sebagai refleksi penulis atas pengelaman duka yang dirasakan para korban di sekitaran kaki Gunung Lewotobi. Dari kedua realitas ini, penulis tidak bermaksud untuk membandingkan situasi antara bencana dan sebuah perayaan seni. Justru sebaliknya, penulis ingin mendalami teater yang dipentaskan dan merefleksikan situasi korban erupsi gunung Lewotobi di tempat pengungsian yang merenungkan kerusakan yang terjadi pada rumah dan kampung halaman mereka, yang telah membentuk mereka sebagai manusia yang berbudaya. Sebelum berangkat lebih jauh, penulis mengapresiasi kelompok teater Pilar yang berlandaskan pengelaman dan kecintaan mereka yang begitu besar terhadap karya seni, mereka mampu melepaskan karya mereka di panggung seni tanpa pendamping ahli atau yang profesional dalam bidang seni teater. Penulis mengulas tulisan ini berdasarkan analisis reflektif dan menggunakan teori semiotika Roland Barthes sebagai pisau bedah yang menganalisis bagaimana elemen-elemen dalam budaya, termasuk teater dapat mengandung makna konotatif yang lebih mendalam seringkali berkaitan dengan ideologi dan konteks sosial yang lebih luas.
Melalui kedua pengalaman ini, penulis teringat kembali perbincangan tiga tahun lalu dengan seorang pegiat teater yang juga berasal dari lembah Hokeng. Kami bersepakat sebagai penulis sederhana kami harus mampu peka terhadap jantung kami yang berdetak dan kami harus bisa mendengarkan detak jantung orang lain. Sebagai seniman biasa, kami juga bersepakat bahwa setelah karya kami yang diperdebatkan di meja-meja hingga dipinggirkan, kami terus memilih untuk menjadi penulis yang jujur. Sebab ketulusan bagi kami teruslah hidup setelah terlepas dari panggung. Karena itulah sebuah kebenaran bagi kami. Hal yang sama mungkin baik diterima oleh para pegiat seni teater Pilar yang lebih sempurna dari tulisan ini.
Analisis Pementasan
"Warisan yang Hidup" adalah sebuah judul teater yang secara jelas dan gamblang mengungkapkan sebuah realitas yang secara terus-menerus diangkat oleh kelompok teater Pilar, yakni tentang eksistensi kebudayaan lokal di tengah derasnya arus perkembangan zaman. Dalam konteks ini, perkembangan teknologi informasi yang pesat, yang sering disebut sebagai abad informasi, menjadi tantangan sekaligus peluang bagi kebudayaan tradisional untuk bertahan dan berkembang.
Berdasarkan tema yang diangkat, penulis sepakat bahwa perkembangan teknologi informasi dan kemajuan teknologi secara umum telah mengubah pola hidup manusia, menggeser cara hidup yang tradisional menjadi lebih modern dan serba digital. Pergeseran ini membawa dampak yang signifikan, tidak hanya pada cara manusia berkomunikasi dan berinteraksi, tetapi juga pada cara kita memahami dan mengapresiasi budaya. Di tengah perubahan ini, kelompok teater Pilar merasa perlu untuk mengangkat isu ini kembali, menyoroti bagaimana kebudayaan lokal, yang seharusnya menjadi identitas yang terus diwariskan, mulai tergerus oleh pesatnya teknologi.
Melalui pementasan ini, teater Pilar berusaha menghadirkan kebudayaan lokal dalam bentuk yang lebih relevan dengan zaman sekarang. Mereka menggunakan atribut modern sebagai sarana dalam pementasan dan untuk mempromosikan kebudayaan lokal. Dengan demikian, "Mewariskan Yang Hidup" bukan hanya sekedar teater yang menggali dan merayakan kebudayaan tradisional, tetapi juga sebuah upaya untuk menjembatani gap antara generasi masa lalu dengan saat ini, antara kebudayaan lokal dan dunia digital yang terus berkembang.
Berdasarkan trailer yang tersebar dan pementasan, penulis berusaha untuk menyelidiki kebaruan dari teater yang ditampilkan dengan teater-teater sebelumnya yang pernah ditampilkan oleh teater Pilar. Misalnya teater berjudul "Masih Hidupkah Sumpahmu Itu" yang dipentaskan oleh Teater Pilar pada 28 Oktober 2023 lalu, mempunyai penekanan yang sama yaitu tentang gab antar generasi dan penekanan pada teknologi informasi sebagai sumber pemicu persoalan. Dalam hal ini, apakah pementasan teater pilar berhasil menawarkan suatu kebaruan dalam memperjuangkan nilai suatu budaya atau malah terjebak dalam konstruksi sutradara yang lebih berfokus pada konflik dan stigmatisasi sosial karena tidak melalui riset dan tidak memiliki lokus yang jelas. Jika demikian, maka adegan dalam teater merupakan potongan-potongan realitas yang dipanggungkan. Untuk mendalami lebih lanjut, penulis akan menguraikan dalam poin-poin sebagai berikut:
Berdasarkan Judul dan Tema
Mengapa memilih judul "Mewariskan yang Hidup" daripada "Menulis yang Mati"? Judul ini mengandung makna yang dalam dan mengajak kita untuk berpikir tentang bagaimana kita memaknai warisan budaya. "Mewariskan Yang Hidup" bukan sekadar menyampaikan sesuatu yang sudah ada, tetapi lebih kepada usaha untuk menghidupkan kebudayaan tersebut agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. "Mewariskan Yang hidup" di sini berarti kebudayaan yang terus berkembang, diterima, dan dihidupi oleh generasi masa kini. Ini bukan sekadar warisan yang dipajang, tetapi sebuah kebudayaan yang tetap berdenyut, yang terus memberikan makna dan relevansi dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, "Menulis Yang Mati" menunjukkan nilai kebudayaan yang sudah terkubur dalam sejarah dan mungkin tidak mempunyai tempat di sebagian hati generasi dewasa ini yang terjebak dalam mengejar popularitas. Dengan demikian, menurut penulis "Warisan Yang Hidup?" tidak relevan jika menjadi sebuah pertanyaan dalam judul teater melainkan sebuah jawaban atas teater yang dipentaskan.
Pendekatan estetika dan visual