Seberapa membekas nilai kebudayaan lokal di hati para generasi yang telah menggunakan sarana modern untuk mempromosikan warisan budaya dewasa ini? Pertanyaan ini menggugah kita untuk berpikir lebih dalam tentang bagaimana budaya lokal sebagai identitas bagi suatu masyarakat, kini perlahan-lahan tergerus oleh gempuran perkembangan zaman. Bagi sebagian orang, kebudayaan lokal hanya menjadi hiburan semata, sebuah suguhan visual atau pertunjukan yang bisa mengundang perhatian ribuan netizen. Di dunia media sosial, kebudayaan lokal bisa menjadi bahan yang mengundang likes, shares, atau bahkan memenuhi syarat untuk masuk ke dalam kolom hastag FYP (For You Page) yang populer. Pertanyaan ini mencerminkan kegelisahan tentang bagaimana generasi masa kini memandang dan mengapresiasi kebudayaan lokal.
Dalam hal ini, persis seperti apa yang diperjuangkan kelompok teater pilar dan menurut penulis tidak adanya kebaruan dalam poin perjuangan nilai budaya sekalipun dalam atributnya sudah sangat relevan. Apakah kita hanya menikmati budaya dalam sekejap mata, sekadar sebagai hiburan yang datang dan pergi begitu saja, ataukah kita mampu menghidupkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan tersebut? Tidak jarang kita melihat kebudayaan lokal yang seharusnya menjadi warisan berharga, terjebak dalam format yang dangkal dan hanya dianggap sebagai "konten" untuk mendapatkan popularitas sesaat. Dengan kata lain, kebudayaan lokal yang seharusnya menjadi kekayaan jiwa bangsa bisa saja terlupakan karena lebih terfokus pada pencapaian wisata popularitas digital semata.
Menulis yang tidak tertulis atau yang terbungkam
Seni pada hakikatnya, adalah bahasa untuk mengungkapkan apa yang tersembunyi dan mengungkapkan yang tak tertuliskan atau tidak terkatakan. Sebagai seorang seniman, menulis atau berkarya bukan sekadar menyalin realitas, tetapi juga meresapi dan mengekspresikan apa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Seorang seniman sejati tidak hanya menulis dengan pena atau kuas, tetapi juga dengan hati yang peka terhadap denyut kehidupan di sekitarnya. Kepekaan inilah yang membuat seni dapat berbicara dan mengungkapkan apa yang sering terabaikan dalam kehidupan sehari-hari. Seni mampu mendengar detak jantungnya sendiri dan juga detak jantung orang lain sebuah bentuk empati yang dalam, yang mampu menjalin hubungan antara manusia, budaya, dan zaman.
Dengan demikian, "Mewariskan yang Hidup" bukan hanya sebuah pementasan teater atau karya seni semata, tetapi sebuah upaya untuk menghidupkan kembali esensi dari kebudayaan lokal, meskipun terpinggirkan oleh kemajuan zaman, tetap memiliki tempat yang penting dalam hati kita. Seni tidak hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai sarana untuk menggugah kesadaran, merawat tradisi, dan menjadikan kebudayaan lokal sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan modern.
Warisan Budaya di Bawah kaki Gunung Lewotobi
Sudah memasuki satu pekan, Lembah Hokeng dan sekitarnya kini menjadi tempat yang "mati", sejak bencana melanda, seolah ditinggalkan oleh kehidupan dan hanya dihuni kenangan. Betapa sepinya halaman sekolah yang dulu selalu dipenuhi oleh langkah siswa/siswi dari segala penjuru, serta aktivitas para petani dan pedagang kaki lima yang biasa melepaskan dahaga para peziarah yang melintasi jalan Trans Larantuka-Maumere. Hokeng adalah sebuah destinasi spiritual dan peradaban yang menarik banyak orang untuk beratap, tetapi kini semua itu terasa jauh dari kenyataan. Saya mengenang Hokeng sebagai tempat yang penuh kehidupan sebelumnya dan nanti, saya menyebutnya saat ini sebagai spasi dari sebuah tulisan.
Sebagai bagian dari para peziarah yang pernah melintasi jalanan Hokeng, saya turut rindu mengenang kabut tipis yang sering menyelimuti pagi dan suburnya alam yang menjadi ciri khas lembah ini. Keindahan alam Hokeng selalu menyuguhkan perasaan bahagia bagi siapa saja yang menetap. Bagi yang mengenalnya, Hokeng bukan sekadar tempat persinggahan, melainkan sebuah rumah. Rumah yang menyatukan kita dari segala perbedaan menjadi satu bagian dalam persaudaraan. Apakah dengan bencana erupsi gunung Lewotobi kebudayaan orang Hokeng juga ikut hilang atau malah semakin mendamaikan mereka? Berangkat dari pertanyaan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa jawaban atas teater "Warisan Yang Hidup" adalah orang Hokeng, budaya dan gunung Lewotobi selalu dalam ikatan emosional yang sama. Mereka terus hidup sekalipun dalam lautan abu mereka terus memeluk abu sebagai bagian dari mereka. Terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi dewasa ini terhadap kebudayaan lokal yang diangkat dalam teater "Warisan Yang Hidup". Ternyata bencana alam juga sangat mempengaruhi kebudayaan local, seperti bencana yang menyebabkan orang-orang berpisah atau harus meninggalkan tempat kediaman, lingkungan, atau dunia mereka sebelumnya, sehingga mereka merasa asing dan jauh dari budaya dan identitas diri mereka sendiri. Sebagaiana dalam kisah pembuangan di Babel, umat Israel merasa asing karena kehilangan identitas mereka di tanah pengasingan. Selain itu, bencana tidak sebatas hanya memberikan rasa takut tetapi juga mengajak masyarakat untuk lebih berdamai dengan alam kebudayaan mereka sebagaimana di Aceh setelah Tsunami tahun 2006, masyarakat kembali membangun rumah di pesisir pantai tanpa rasa takut akan pengelaman yang sudah mereka alami. Dalam hal ini penulis mau menerangkan soal ikatan emosional masyarakat budaya dengan tempat mereka menetap memberikan suatu kenyamanan dan identitas tersendiri.
Ikatan emosional orang Hokeng dengan budaya mereka dalam konteks bencana Gunung Lewotobi bisa dilihat melalui hubungan mereka dengan alam dan keyakinan budaya yang kuat. Orang Hokeng, yang termasuk dalam kelompok etnis dengan adat istiadat yang kaya, sering kali menganggap gunung sebagai simbol kekuatan spiritual. Gunung Lewotobi, yang terletak di wilayah tersebut, memiliki makna yang mendalam dalam kehidupan mereka, baik dalam mitologi, ritual, maupun kehidupan sehari-hari.
Saat terjadinya bencana alam, seperti erupsi gunung, ikatan emosional ini bisa menjadi sangat kompleks. Di satu sisi, bencana ini bisa menimbulkan rasa takut dan kehilangan, tetapi di sisi lain, orang Hokeng mungkin juga melihatnya sebagai bentuk peringatan atau tanda dari kekuatan alam yang perlu dihormati atau dihadapi dengan cara-cara ritual tertentu. Dalam konteks ini, mereka bisa menghubungkan kejadian tersebut dengan ajaran leluhur atau kepercayaan spiritual mereka. Adanya ikatan emosional yang kuat ini juga tercermin dalam cara mereka berinteraksi dengan sesama anggota komunitas, yang saling mendukung selama masa-masa sulit. Selain itu, budaya mereka yang kental dengan gotong royong, penghormatan terhadap alam, dan kepercayaan terhadap leluhur sering kali menjadi sumber kekuatan dalam menghadapi bencana. Di masa bencana, budaya ini menjadi salah satu cara untuk menjaga semangat komunitas dan memperkuat rasa solidaritas. Secara keseluruhan, ikatan emosional orang Hokeng dengan budaya mereka tidak hanya tercermin dalam cara mereka merespons bencana, tetapi juga dalam cara mereka memahami dan menghubungkan peristiwa alam dengan keyakinan dan praktik budaya mereka.
Di sini, siapa saja yang mengenalnya mari berbelasungkawa, mendoakan para korban dan turut mengulurkan tangan untuk bergandeng bersama dengan sesama kita yang berada di bawah kaki gunung Lewotobi. Sebab, meski alam bisa menjadi saksi bisu atas segala peristiwa, manusia selalu memiliki cara untuk saling menguatkan. Hokeng mungkin sepi untuk sementara, namun semangat persaudaraan dan kebersamaan kita akan terus mengalir, seperti sungai yang tak pernah berhenti mengalir meski dalam kelamnya malam.