Pagi itu, embun masih menggantung bagai kristal di ujung-ujung daun. Udara dingin menusuk tulang, namun kehangatan mentari yang mulai mengintip di ufuk timur memberikan harapan akan hari yang baru. Saya berdiri di tepi Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh, menyaksikan pertunjukan alam yang memukau, kabut putih menari-nari di antara pepohonan, perlahan menguap di bawah belaian lembut sang surya. Daun-daun bergerak pelan, dengan suara gemerisik yang lembut ditelinga, suara siamang yang bersahutan dari kejauhan, seperti orkestra yang disuguhkan alam yang membuat bulu kuduk meremang dan hati bergetar.
Saat saya menikmati suasana magis di pagi hari itu, seorang pria paruh baya mendekati saya. Dengan senyum ramah, dia memperkenalkan diri sebagai Pak Rahman, ranger veteran yang telah mengabdikan 30 tahun hidupnya untuk menjaga kawasan ini, "Dulu, di tempat ini, orangutan bebas berayun dari satu pohon ke pohon lain. Mereka bergerak dengan anggun, seolah menari di atas kanopi hutan," kenang Pak Rahman. Matanya yang berkeriput menerawang jauh, seolah sedang memutar kembali film kehidupan yang kini tinggal kenangan. "Harimau sumatera berkeliaran dengan gagahnya, meninggalkan jejak-jejak misterius yang membuat hutan ini terasa hidup. Dan badak bercula dua... ah, mereka adalah keajaiban yang kini nyaris tak pernah terlihat."
Dalam Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, terungkap fakta yang mengejutkan sekaligus memilukan tentang kekayaan hayati negeri ini. Indonesia, sebagai negara megabiodiversitas, menyimpan 17% spesies burung dunia dan 15% mamalia global, sebuah warisan alam yang tak ternilai harganya. Seperti peti harta karun yang terbuka, negeri ini menyimpan keajaiban-keajaiban yang bahkan belum sepenuhnya terkuak.
"Keanekaragaman hayati Indonesia sangat penting secara global," tegas Prof. Satyawan Pudyatmoko, seorang Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang hadir menyampaikan materi "Melawan Kehilangan: Masa Depan Keanekaragaman Hayati Indonesia" dalam forum tersebut. Suaranya bergetar penuh semangat saat menjelaskan. "Dengan 22 tipe ekosistem alami dan 75 tipe vegetasi, Indonesia adalah laboratorium hidup bagi dunia. Setiap sudut negeri ini menyimpan rahasia evolusi dan adaptasi yang mengagumkan. Namun," ia berhenti sejenak, matanya meredup, "krisis tiga planet seperti polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim akan mengancam keberlangsungan warisan alam ini dengan cara yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya." Perkataan Prof. Satyawan membuka mata kita akan betapa vitalnya menjaga warisan alam Indonesia.
Melanjutkan refleksi tersebut, perjalanan membawa saya ke sebuah kampung tua di tepi hutan. Di sana, Mak Inah, seorang tetua adat berusia 80 tahun, masih tegap berdiri di kebun obatnya yang kecil. Tangannya yang keriput membelai dedaunan dengan kelembutan seorang ibu. "Anak muda sekarang mungkin tak tahu, tapi dulu kami tak perlu ke dokter. Hutan adalah rumah obat kami," ujarnya sambil menunjukkan berbagai tanaman yang kini semakin langka. "Lihat daun ini," ia memetik sehelai daun berwarna hijau gelap. "Dulu, satu batang pohon ini bisa menyembuhkan seluruh kampung dari demam. Sekarang? Jangankan pohonnya, benih-benihnya pun sulit ditemukan."
Di sudut kampung, saya menemukan Rini, gadis berusia 12 tahun dengan mata berbinar penuh mimpi. "Kata kakek, dulu di sini ada harimau," ucapnya sambil menggambar di tanah. Jemarinya yang kecil membentuk sosok kucing besar dengan corak loreng. "Aku mau banget lihat harimau, tapi kata ayah mungkin nggak akan bisa. Kenapa ya, kak? Apa harimau nggak suka sama kita?" Pertanyaan polosnya menghujam tepat ke jantung permasalahan yang kita hadapi.
Pada sore hari, saya kembali menemui Pak Rahman ingin berpamitan tetapi, kebetulan jadwal harian patroli akan segera di lakukan, dengan ramah Pak Rahman mengajak saya untuk mengikuti patroli bersama tim ranger. Diperjalanan mereka menunjukkan bekas-bekas jerat yang ditemukan, jejak-jejak perburuan liar yang masih segar. "Setiap minggu kami menemukan hal seperti ini," ujar Kang Asep, ranger muda yang baru bergabung dua tahun lalu. "Yang menyedihkan, kadang pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya menjaga hutan ini. Kemiskinan dan ketidaktahuan masih menjadi musuh terbesar konservasi."
Proyeksi yang menunjukkan bahwa 50-75% populasi global mungkin menghadapi kondisi iklim yang mengancam jiwa pada tahun 2100 terasa semakin nyata. Di tengah terik siang, saya berjalan menyusuri bekas kawasan hutan yang kini telah berubah menjadi perkebunan. Tanah yang dulu dingin dan lembab kini terasa panas dan kering. Burung-burung yang dulu ramai berkicau kini hanya sesekali terdengar, seolah menyanyikan elegi bagi habitat mereka yang hilang.
Undang-Undang baru (UU No. 32/2024) hadir sebagai secercah harapan, mengatur pengelolaan kawasan konservasi dan perdagangan satwa liar yang legal dan berkelanjutan. Namun, di lapangan, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks, seperti kata Spider-Man: "With great power comes great responsibility." Pertanyaannya, siapa yang akan mengawal sang superhero selain orang-orang yang sadar akan keanekaragaman hayati di Indonesia yang terlihat sangat menghawatirkan. "Kita seperti berlari melawan waktu," ujar Pak Rahman saat kami duduk di pos jaganya di sore hari selepas patroli. Ia membuka album foto usang, menunjukkan gambar-gambar yang membuat hati terenyuh.
"Ini foto tahun 90-an," jarinya menunjuk sebuah gambar yang menguning. "Dalam sehari, kita bisa melihat puluhan orangutan berayun dari pohon ke pohon. Mereka seperti penari-penari handal di atas panggung hijau." Ia membalik halaman berikutnya, menunjukkan foto-foto harimau yang tertangkap kamera trap. "Sekarang? Untuk melihat satu saja butuh berminggu-minggu. Kadang saya bertanya-tanya, apakah cucu-cucu kita masih akan mengenal makhluk-makhluk menakjubkan ini, atau mereka hanya akan menjadi dongeng pengantar tidur?"
Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP) menjadi secercah harapan di tengah kegelapan ini. Targetnya ambisius namun vital yaitu meningkatkan ketahanan ekosistem dan mengurangi risiko kepunahan spesies pada tahun 2050. Di atas kertas, rencana ini tampak sempurna. Namun di lapangan, setiap detik yang berlalu adalah pertaruhan antara hidup dan mati bagi ribuan spesies.
Data terbaru dari IUCN Red List (2022) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 1.217 spesies hewan yang terancam punah di Indonesia hingga 4 Oktober 2022. Dari jumlah tersebut, ada 366 spesies ikan, 331 spesies hewan tanpa tulang belakang, 212 spesies hewan mamalia. 161 spesies burung, 77 spesies hewan reptile, 42 spesies hewan bertubuh lunak, 28 spesies hewan amfibi. Badak jawa yang tersisa kurang dari 74 ekor di Taman Nasional Ujung Kulon, harimau sumatera yang populasinya kurang dari 400 ekor di alam liar, dan orangutan yang kehilangan 80% habitatnya dalam dua dekade terakhir adalah bukti nyata betapa kritisnya situasi yang kita hadapi. Setiap tahun, rata-rata tiga spesies endemik Indonesia menghilang selamanya, membawa serta rahasia evolusi yang tak akan pernah kita ketahui.
Malam telah merapat ketika saya mengakhiri kunjungan. Di kejauhan, suara burung hantu mulai bersahutan, seolah menyanyikan requiem bagi spesies yang telah dan mungkin akan punah. Kunang-kunang, yang dulu konon memenuhi hutan seperti taburan bintang, kini hanya sesekali terlihat, berkelap-kelip lemah seolah mempertahankan cahaya terakhir mereka.
"Selama masih ada yang peduli, selama masih ada yang berjuang, harapan itu tak akan pernah padam," kata Pak Rahman sebelum kami berpisah. Kata-katanya menggema dalam kepala saya sepanjang perjalanan pulang. Di tengah derap pembangunan yang tak terbendung, mungkin inilah saatnya kita berhenti sejenak dan bertanya, sampai kapan alam akan terus memberi tanpa kita memberi kembali?
Karena pada akhirnya, merawat keragaman hayati bukan sekadar tentang menyelamatkan spesies. Ini adalah kisah tentang menyelamatkan warisan untuk generasi mendatang, tentang menjaga keseimbangan yang telah berevolusi selama jutaan tahun, dan yang terpenting, tentang mempertahankan kisah cinta antara manusia dan alam yang telah terjalin sejak awal peradaban.
Namun, masih ada harapan jika kita bertindak sekarang. Program kolaboratif seperti REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang melibatkan masyarakat adat dalam perlindungan hutan, sudah menunjukkan hasil positif. Di Kalimantan Tengah, proyek Katingan Mentaya yang dikelola PT Rimba Makmur Utama telah berhasil melindungi 157.875 hektar lahan gambut, habitat penting orangutan dan spesies terancam punah lainnya, sambil memberdayakan 34 desa di sekitarnya.
Dengan pencapaian tersebut, dimalam hari sebelum terlelap, saya teringat gambar harimau Rini di tanah. Mungkin, di suatu tempat di kedalaman hutan Indonesia, masih ada harimau yang berkeliaran, orangutan yang berayun, dan badak yang menjelajah dengan tenang. Pertanyaannya adalah, akankah kita cukup bijak untuk memberi mereka kesempatan kedua? Karena kita mungkin adalah generasi terakhir yang memiliki kesempatan untuk menyelamatkan keragaman hayati ini, bukan untuk diri kita sendiri, tapi untuk Rini dan jutaan anak lainnya yang berhak melihat keajaiban alam Indonesia yang utuh.
*Artikel ini adalah hasil imajinasi penulis agar ide dan gagasan dapat dituangkan dengan baik yang didasarkan pada riset dan observasi tentang kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia. Beberapa karakter dan dialog diciptakan untuk memberikan perspektif yang lebih personal terhadap isu yang diangkat, namun fakta-fakta ilmiah dan data yang disebutkan bersumber dari penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H