Mohon tunggu...
Rizvan Revana Fauzi
Rizvan Revana Fauzi Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Sunan Gunung Djati

Seorang mahasiswa aktif di program studi Ilmu Komunikasi Jurnalistik UIN Bandung, dengan minat besar dalam dunia komunikasi dan digital. Saya juga suka menulis, desain dan menyukai kegiatan yang mengharuskan kerjasama tim serta bersemangat untuk mengembangkan diri di bidang komunikasi, Esport dan digital lainnya. Motto hidup saya “hidup bukan saling mendahului, bermimpilah sendiri-sendiri.”

Selanjutnya

Tutup

Nature

Jejak Terakhir, Kisah Cinta yang Hilang di Rimba Nusantara

4 Januari 2025   20:55 Diperbarui: 4 Januari 2025   20:55 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Data terbaru dari IUCN Red List (2022) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 1.217 spesies hewan yang terancam punah di Indonesia hingga 4 Oktober 2022. Dari jumlah tersebut, ada 366 spesies ikan, 331 spesies hewan tanpa tulang belakang, 212 spesies hewan mamalia. 161 spesies burung, 77 spesies hewan reptile, 42 spesies hewan bertubuh lunak, 28 spesies hewan amfibi. Badak jawa yang tersisa kurang dari 74 ekor di Taman Nasional Ujung Kulon, harimau sumatera yang populasinya kurang dari 400 ekor di alam liar, dan orangutan yang kehilangan 80% habitatnya dalam dua dekade terakhir adalah bukti nyata betapa kritisnya situasi yang kita hadapi. Setiap tahun, rata-rata tiga spesies endemik Indonesia menghilang selamanya, membawa serta rahasia evolusi yang tak akan pernah kita ketahui.

Malam telah merapat ketika saya mengakhiri kunjungan. Di kejauhan, suara burung hantu mulai bersahutan, seolah menyanyikan requiem bagi spesies yang telah dan mungkin akan punah. Kunang-kunang, yang dulu konon memenuhi hutan seperti taburan bintang, kini hanya sesekali terlihat, berkelap-kelip lemah seolah mempertahankan cahaya terakhir mereka.

"Selama masih ada yang peduli, selama masih ada yang berjuang, harapan itu tak akan pernah padam," kata Pak Rahman sebelum kami berpisah. Kata-katanya menggema dalam kepala saya sepanjang perjalanan pulang. Di tengah derap pembangunan yang tak terbendung, mungkin inilah saatnya kita berhenti sejenak dan bertanya, sampai kapan alam akan terus memberi tanpa kita memberi kembali?

Karena pada akhirnya, merawat keragaman hayati bukan sekadar tentang menyelamatkan spesies. Ini adalah kisah tentang menyelamatkan warisan untuk generasi mendatang, tentang menjaga keseimbangan yang telah berevolusi selama jutaan tahun, dan yang terpenting, tentang mempertahankan kisah cinta antara manusia dan alam yang telah terjalin sejak awal peradaban.

Namun, masih ada harapan jika kita bertindak sekarang. Program kolaboratif seperti REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang melibatkan masyarakat adat dalam perlindungan hutan, sudah menunjukkan hasil positif. Di Kalimantan Tengah, proyek Katingan Mentaya yang dikelola PT Rimba Makmur Utama telah berhasil melindungi 157.875 hektar lahan gambut, habitat penting orangutan dan spesies terancam punah lainnya, sambil memberdayakan 34 desa di sekitarnya.

Dengan pencapaian tersebut, dimalam hari sebelum terlelap, saya teringat gambar harimau Rini di tanah. Mungkin, di suatu tempat di kedalaman hutan Indonesia, masih ada harimau yang berkeliaran, orangutan yang berayun, dan badak yang menjelajah dengan tenang. Pertanyaannya adalah, akankah kita cukup bijak untuk memberi mereka kesempatan kedua? Karena kita mungkin adalah generasi terakhir yang memiliki kesempatan untuk menyelamatkan keragaman hayati ini, bukan untuk diri kita sendiri, tapi untuk Rini dan jutaan anak lainnya yang berhak melihat keajaiban alam Indonesia yang utuh.

*Artikel ini adalah hasil imajinasi penulis agar ide dan gagasan dapat dituangkan dengan baik yang didasarkan pada riset dan observasi tentang kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia. Beberapa karakter dan dialog diciptakan untuk memberikan perspektif yang lebih personal terhadap isu yang diangkat, namun fakta-fakta ilmiah dan data yang disebutkan bersumber dari penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun