Mohon tunggu...
Rizvan Revana Fauzi
Rizvan Revana Fauzi Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Sunan Gunung Djati

Seorang mahasiswa aktif di program studi Ilmu Komunikasi Jurnalistik UIN Bandung, dengan minat besar dalam dunia komunikasi dan digital. Saya juga suka menulis, desain dan menyukai kegiatan yang mengharuskan kerjasama tim serta bersemangat untuk mengembangkan diri di bidang komunikasi, Esport dan digital lainnya. Motto hidup saya “hidup bukan saling mendahului, bermimpilah sendiri-sendiri.”

Selanjutnya

Tutup

Nature

Jejak Terakhir, Kisah Cinta yang Hilang di Rimba Nusantara

4 Januari 2025   20:55 Diperbarui: 4 Januari 2025   20:55 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, embun masih menggantung bagai kristal di ujung-ujung daun. Udara dingin menusuk tulang, namun kehangatan mentari yang mulai mengintip di ufuk timur memberikan harapan akan hari yang baru. Saya berdiri di tepi Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh, menyaksikan pertunjukan alam yang memukau, kabut putih menari-nari di antara pepohonan, perlahan menguap di bawah belaian lembut sang surya. Daun-daun bergerak pelan, dengan suara gemerisik yang lembut ditelinga, suara siamang yang bersahutan dari kejauhan, seperti orkestra yang disuguhkan alam yang membuat bulu kuduk meremang dan hati bergetar.

Saat saya menikmati suasana magis di pagi hari itu, seorang pria paruh baya mendekati saya. Dengan senyum ramah, dia memperkenalkan diri sebagai Pak Rahman, ranger veteran yang telah mengabdikan 30 tahun hidupnya untuk menjaga kawasan ini, "Dulu, di tempat ini, orangutan bebas berayun dari satu pohon ke pohon lain. Mereka bergerak dengan anggun, seolah menari di atas kanopi hutan," kenang Pak Rahman. Matanya yang berkeriput menerawang jauh, seolah sedang memutar kembali film kehidupan yang kini tinggal kenangan. "Harimau sumatera berkeliaran dengan gagahnya, meninggalkan jejak-jejak misterius yang membuat hutan ini terasa hidup. Dan badak bercula dua... ah, mereka adalah keajaiban yang kini nyaris tak pernah terlihat."

Dalam Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, terungkap fakta yang mengejutkan sekaligus memilukan tentang kekayaan hayati negeri ini. Indonesia, sebagai negara megabiodiversitas, menyimpan 17% spesies burung dunia dan 15% mamalia global, sebuah warisan alam yang tak ternilai harganya. Seperti peti harta karun yang terbuka, negeri ini menyimpan keajaiban-keajaiban yang bahkan belum sepenuhnya terkuak.

"Keanekaragaman hayati Indonesia sangat penting secara global," tegas Prof. Satyawan Pudyatmoko, seorang Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang hadir menyampaikan materi "Melawan Kehilangan: Masa Depan Keanekaragaman Hayati Indonesia" dalam forum tersebut. Suaranya bergetar penuh semangat saat menjelaskan. "Dengan 22 tipe ekosistem alami dan 75 tipe vegetasi, Indonesia adalah laboratorium hidup bagi dunia. Setiap sudut negeri ini menyimpan rahasia evolusi dan adaptasi yang mengagumkan. Namun," ia berhenti sejenak, matanya meredup, "krisis tiga planet seperti polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim akan mengancam keberlangsungan warisan alam ini dengan cara yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya." Perkataan Prof. Satyawan membuka mata kita akan betapa vitalnya menjaga warisan alam Indonesia.

Melanjutkan refleksi tersebut, perjalanan membawa saya ke sebuah kampung tua di tepi hutan. Di sana, Mak Inah, seorang tetua adat berusia 80 tahun, masih tegap berdiri di kebun obatnya yang kecil. Tangannya yang keriput membelai dedaunan dengan kelembutan seorang ibu. "Anak muda sekarang mungkin tak tahu, tapi dulu kami tak perlu ke dokter. Hutan adalah rumah obat kami," ujarnya sambil menunjukkan berbagai tanaman yang kini semakin langka. "Lihat daun ini," ia memetik sehelai daun berwarna hijau gelap. "Dulu, satu batang pohon ini bisa menyembuhkan seluruh kampung dari demam. Sekarang? Jangankan pohonnya, benih-benihnya pun sulit ditemukan."

Di sudut kampung, saya menemukan Rini, gadis berusia 12 tahun dengan mata berbinar penuh mimpi. "Kata kakek, dulu di sini ada harimau," ucapnya sambil menggambar di tanah. Jemarinya yang kecil membentuk sosok kucing besar dengan corak loreng. "Aku mau banget lihat harimau, tapi kata ayah mungkin nggak akan bisa. Kenapa ya, kak? Apa harimau nggak suka sama kita?" Pertanyaan polosnya menghujam tepat ke jantung permasalahan yang kita hadapi.

Pada sore hari, saya kembali menemui Pak Rahman ingin berpamitan tetapi, kebetulan jadwal harian patroli akan segera di lakukan, dengan ramah Pak Rahman mengajak saya untuk mengikuti patroli bersama tim ranger. Diperjalanan mereka menunjukkan bekas-bekas jerat yang ditemukan, jejak-jejak perburuan liar yang masih segar. "Setiap minggu kami menemukan hal seperti ini," ujar Kang Asep, ranger muda yang baru bergabung dua tahun lalu. "Yang menyedihkan, kadang pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya menjaga hutan ini. Kemiskinan dan ketidaktahuan masih menjadi musuh terbesar konservasi."

Proyeksi yang menunjukkan bahwa 50-75% populasi global mungkin menghadapi kondisi iklim yang mengancam jiwa pada tahun 2100 terasa semakin nyata. Di tengah terik siang, saya berjalan menyusuri bekas kawasan hutan yang kini telah berubah menjadi perkebunan. Tanah yang dulu dingin dan lembab kini terasa panas dan kering. Burung-burung yang dulu ramai berkicau kini hanya sesekali terdengar, seolah menyanyikan elegi bagi habitat mereka yang hilang.

Undang-Undang baru (UU No. 32/2024) hadir sebagai secercah harapan, mengatur pengelolaan kawasan konservasi dan perdagangan satwa liar yang legal dan berkelanjutan. Namun, di lapangan, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks, seperti kata Spider-Man: "With great power comes great responsibility." Pertanyaannya, siapa yang akan mengawal sang superhero selain orang-orang yang sadar akan keanekaragaman hayati di Indonesia yang terlihat sangat menghawatirkan. "Kita seperti berlari melawan waktu," ujar Pak Rahman saat kami duduk di pos jaganya di sore hari selepas patroli. Ia membuka album foto usang, menunjukkan gambar-gambar yang membuat hati terenyuh.

"Ini foto tahun 90-an," jarinya menunjuk sebuah gambar yang menguning. "Dalam sehari, kita bisa melihat puluhan orangutan berayun dari pohon ke pohon. Mereka seperti penari-penari handal di atas panggung hijau." Ia membalik halaman berikutnya, menunjukkan foto-foto harimau yang tertangkap kamera trap. "Sekarang? Untuk melihat satu saja butuh berminggu-minggu. Kadang saya bertanya-tanya, apakah cucu-cucu kita masih akan mengenal makhluk-makhluk menakjubkan ini, atau mereka hanya akan menjadi dongeng pengantar tidur?"

Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP) menjadi secercah harapan di tengah kegelapan ini. Targetnya ambisius namun vital yaitu meningkatkan ketahanan ekosistem dan mengurangi risiko kepunahan spesies pada tahun 2050. Di atas kertas, rencana ini tampak sempurna. Namun di lapangan, setiap detik yang berlalu adalah pertaruhan antara hidup dan mati bagi ribuan spesies.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun