Mohon tunggu...
Rizka Khairunnisa
Rizka Khairunnisa Mohon Tunggu... -

Serial "POTONGAN" terbit setiap pekan. Bisa dibaca juga di http://rizukanisa.tumblr.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Potongan #4 - Akan Mati

19 Juli 2016   08:51 Diperbarui: 19 Juli 2016   11:56 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mila berlari ke arah panggung. Dia merangsek masuk ke dalam kerumunan.

“Maaf. Permisi. Maaf,” ucap Mila sambil menerobos beberapa orang di depannya.

Tampak petugas keamanan sibuk meminta kerumunan untuk mundur, sementara seorang pria berlutut memeriksa keadaan gadis yang pingsan.

“Maaf.” Mila mengeluarkan dompetnya dari tas, kemudian menunjukkan kartu identitas mahasiswanya kepada seorang petugas keamanan. “Saya tahu anak ini. Saya yang bertanggung jawab terhadap dia. Bolehkah saya membawanya?”

Petugas itu memandang kartu identitas Mila sejenak, kemudian berkata, “Silakan. Tapi dia harus dipindahkan dulu sampai sadar.”

Mila mengangguk. Petugas keamanan tadi meminta seorang petugas lain membopong Yura dan menginstruksikan kepada yang lainnya untuk tetap mengamankan kerumunan. Mila memungut barang-barang milik gadis itu yang terjatuh.

“Permisi,” ujar Mila sambil mengangguk sopan pada pria di depannya yang tadi memeriksa keadaan gadis yang pingsan. Pria itu menatap Mila sejenak, baru balas mengangguk.

______________________________

Yura membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa pusing seperti habis membentur tembok. Dilihatnya langit-langit yang berwarna putih. Dia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Jika tidak salah, dia berada sebuah di mal, sedang mengantri untuk melakukan high-touch dengan penyanyi idolanya. Yura sudah bengantri di bagian depan, tapi waktu terasa berjalan begitu lama. Antrian semakin dekat, wajah yang selalu ada di dalam mimpi dan menghiasi kamarnya, kini ada di depan mata! Bukan dalam bentuk poster, tapi wajah asli laki-laki tampan yang bersuara menangkan apalagi jika didengar saat malam hari. Jantung Yura berdegup kencang, hatinya seperti akan meledak kapan saja. Wajah itu semakin dekat. Tatapan mata ramah, senyum dikulum dan lesung pipit itu semakin jelas di mata Yura. Semakin dekat, tinggal dua orang lagi. Semakin dekat, tinggal satu orang lagi dan sebentar lagi Yura bisa berdiri berhadapan dengannya. Dengan pangeran impiannya. Hingga akhirnya saat itu tiba. Laki-laki itu tersenyum pada Yura dan mengatakan hai. Jantung Yura benar-benar meledak saat kedua tangannya melakukan toastdengan pangeran impiannya itu. Hingga kemudian gelap seketika.

“Ini di mana?” Yura berusaha bangun dari sofa. Ditatapnya sekeliling ruangan. Hanya seorang perempuan yang sedang berdiri di samping jendela sambil menatap layar handphone-nya dengan datar.

Perempuan itu menoleh saat mendengar suara Yura.

“Maaf, ini di mana?” tanya Yura lagi. Mila tidak menjawab. Dia berjalan menuju sofa tempat Yura berbaring dan duduk di kursi di samping sofa. “Anda siapa?” Yura seperti bertanya pada tiang listrik.

Mila menyilangkan kedua tangannya di dada. “Aku kenalan kakakmu. Junior di kampus. Kau  sudah baikan?” tanya Mila datar. Yura mengangguk pelan walaupun badannya masih terasa lemas.

Hening sejenak. Mila memandang Yura dari kepala sampai kaki.

“Apa kau benar-benar perlu melakukan semua ini?” tanya Mila lagi.

Yura menoleh dan menatap bingung. “Apa saya melakukan kesalahan?”

Mila menyandarkan punggungnya ke kursi. “Tidak juga, hanya saja aku tidak merasa ini sesuatu yang benar. Kau jauh-jauh pergi ke ibukota hanya untuk melakukan toast dengan penyanyi kesukaanmu?” tanya Mila.

“Dia bukan hanya penyanyi. Dia sumber semangatku untuk hidup.”

Mila memutar bola matanya mendengar ucapan anak itu. Orang yang dibicarakan bukanlah penulis buku motivasi atau semacamnya.

“Lalu apa kau tidak akan pulang? Temanmu bilang setelah selesai acara ini kau dan teman-temanmu akan mengikuti mobil si ‘sumber semangat hidup’mu itu ke rumahnya. Mau apa kau? Mencurinya?”

Yura menggeleng. “Aku hanya ingin tahu dia tinggal di mana, rumahnya seperti apa, dia punya peliharaan atau tidak, bagaimana tingkah laku dia di rumah, kebiasaannya di rumah, pokoknya semua tentang dia. Walaupun hanya melihat dari luar, tapi itu sudah membuatku senang,” ujar Yura.

“Lalu, kalau kau sudah tahu semua tentang dia?” Mila menekankan pada tiga kata terakhir seperti mengejek.

“Aku akan semakin mencintai dia.” Yura tampak tersipu.

Mila menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. “Berapa umurmu?”

“Mmmm,” gumam anak itu. “Tujuh belas.”

Berarti enam belas tahun dalam perhitungan orang Indonesia, pikir Mila.

Mila menghela napas. Yura hanya duduk di sofa seperti bingung apa yang harus dilakukan. “Apa kau tahu apa yang dilakukan oleh penyanyi idolamu saat seusia denganmu?”

“Tentu saja!” jawab anak itu bersemangat. “Dia lolos audisi sebuah ajang pencarian bakat dan berhasil meraih posisi empat besar. Karena terlalu muda saat itu jadi dia kurang berpengalaman dan tidak meraih juara. Tapi dia sudah menjadi buah bibir banyak orang. Lalu dia masuk perusahaan yang menaungi artis-artis besar dan masuk masa pelatihan selama 2 tahun sampai akhirnya bisa rekaman album solo,” jelas Yura panjang lebar. “Dia kerja keras untuk menambah kemampuan bermusik dan menyanyinya sampai lagu-lagu di album solonya dia ciptakan dan aransemen sendiri.”

Mila mengangguk-angguk sambil mendengarkan. “Lalu di usiamu yang sama dengan dia, apa yang sudah kau lakukan?”

Yura terdiam. Matanya melihat ke kanan dan ke kiri. Mencoba mencari jawaban.

“Bolos sekolah, kabur dari kakakmu yang pemarah, dan sekarang pingsan di depan umum?” tanya Mila pedas. “Kalau yang kau lakukan itu agar menjadi buah bibir banyak orang, selamat. Kau berhasil.”

Yura mengernyitkan dahinya bingung. Mila melempar handphone-nya ke sofa tempat Yura duduk. Masih dengan wajah bingung Yura meraih telepon genggam itu. Mila berdiri dan berjalan menuju jendela, menunggu. Yura memandang layar handphone. Terlihat judul artikel tentang seorang penggemar yang jatuh pingsan di depan penyanyi idolanya di sebuah acara jumpa fans. Yura membekap mulutnya sendiri saking tidak percaya.

“Ini… sungguhan?”

“Hmmm,” desah Mila. “Entahlah. Tapi aalau teman-temanmu yang sekarang sedang ada di sekolah membaca artikel itu, apa mereka akan mempercayainya?”

 Yura melirik Mila cepat. “Mereka bukan teman-temanku,” kata Yura ketus.

“Oh ya? Lalu teman-temanmu yang mana? Dua orang yang memakai kostum Powerpuff Girls? Dan kau jadi Blossom?” Mila melirik pakaian Yura sambil menahan tawa.

 Yura menatap Mila kesal. “Memangnya apa yang salah? Kami memang sahabat baik. Kami tidak akan terpisahkan sampai kapanpun. Seperti Powerpuff Girls.”

Mila mendengus tertawa. “Sampai kapanpun?”

Mila berjalan kembali ke kursinya dan duduk di depan Yura. “Hei, dengar ya, Bocah. Teman-temanmu itu, setelah kelulusan SMA, tidak akan pernah kau lihat lagi. Mereka akan menghilang tanpa kabar. Hingga setahun kemudian kau akan diberitahu oleh orang lain kalau mereka sudah masuk perguruan tinggi ternama.”

Yura mengernyitkan dahinya. “Apa maksudmu?”

“Temanmu Si Bubbles anak orang kaya, bukan? Tasnya bukan merek yang bisa dibeli oleh anak sekolah, bahkan oleh pegawai kontrak dengan gaji satu bulan sekalipun. Biaya sekolah kedokteran itu perkara mudah bagi orangtuanya. Dia juga terlihat cerdas.” Mila memandang Yura seolah mengintimidasi. “Saat kau tidak sadarkan diri, Si Buttercup sampai menelepon paman dan sepupunya yang menjadi jaksa di kota ini untuk meminta bantuan. Tidak sulit baginya untuk kuliah hukum dan mendapat pekerjaan setelah lulus. Dia punya koneksi yang bagus.”

Yura menggigit bibir. “Tapi mereka baik sekali padaku.”

Mila mengangkat bahu, “Aku tidak mengatakan mereka bukan orang baik. Aku hanya ingin bilang kalau mereka memiliki jalan yang berbeda denganmu.”

“Maksudnya?”

Mila mengambil handphone-nya yang tergeletak di pangkuan Yura dan memasukkannya ke dalam ransel mungil. “Mereka bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan saat ini, karena memiliki jalan pintas untuk meraih apa yang ingin orang lain capai dengan mudah. Tapi jalan yang seperti itu tidak dimiliki oleh semua orang. Teman-temanmu di sekolah memilih jalan dengan belajar, mengikuti les tambahan, atau belajar keterampilan lain. Dan kau,” Mila memandang Yura tajam. “Harus mencari jalanmu sendiri.”

Yura diam saja. Mila berharap gadis itu sedang mencerna kata-kata yang barusan didengar.

“Apa mimpimu?” tanya Mila memecah kesunyian.

“Apa?” Yura balik bertanya bingung.

“Apa mimpimu?” ulang Mila. “What’s your dream?”

“Mmmm.” gumam Yura. Dia berpikir sangat lama seolah diberi pertanyaan yang lebih rumit dari matematika.

Mila menyandarkan punggungnya ke kursi, memandang  Yura tidak percaya. “Sudah malas, mimpipun tak punya. Mau jadi apa kau?” cibir Mila. “Bergantung pada kakakmu dan hanya menambah beban ayahmu yang bekerja di Amerika?”

“Tidak,” bantah Yura. Dia kembali menatap Mila dengan kesal. “Aku akan bertemu Ibu di surga.”

Mila kembali mendengus tertawa. “Apa yang sudah kau lakukan sampai kau yakin akan masuk surga?”

Ekspresi wajah Yura sontak berubah. Tidak menyangka orang yang baru ditemuinya berkata seperti itu.

“Kau tidak akan masuk surga kalau kau terus seperti ini. Aku bisa bayangkan, 5 atau 10 tahun lagi kau akan berakhir di rel kereta atau sungai di bawah jembatan. Tidak, tapi di tali yang menggantung karena saat itu,” Mila melirik wajah Yura yang berkaca-kaca. “Kau berpikir akan menjadi orang dengan nasib lebih baik di kehidupanmu selanjutnya.”

Air mata menetes dari ujung mata Yura. Mila menatap air mata itu dengan datar.

“Jika kau memang mencintai idolamu, cukup lihat dia di tv saja, beli albumnya dan dengarkan saat kau sedang belajar. Uang jajanmu jangan kau habiskan untuk menguntit orang itu ke manapun dia pergi hanya ingin tahu dia pelihara hewan atau tidak. Menabunglah, kau bisa menonton konsernya setahun sekali, sisanya kau simpan.”

Mila bangkit berdiri. “Cari tahu mimpimu dari sekarang. Bekerja keraslah untuk mencapainya. Bahkan jika kau tahu hasil akhirnya akan mustahil, upayakan sampai akhir.”

 Mila memakai ransel mungilnya di punggung. Kembali memandang Yura yang wajahnya kini tertunduk. “Karena orang seperti kau dan aku, tanpa mimpi dan kerja keras, akan mati.”

Yura membenamkan wajah di kedua tangannya.

“Orang seperti kita, tanpa mimpi dan kerja keras akan mati, Yura.”

Mila pergi meninggalkan Yura yang menangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun