Yang lain mulai meninggalkan ruangan, kembali ke meja masing-masing. Kembali ke komputer masing-masing. Kecuali Mila.
“Kau hebat juga.” Si Kumis menghampiri Mila yang masih berdiri mematung. Mila diam saja. “Hei, kamu ini mesin atau apa? Bagaimana kamu bisa membuat file presentasi dari sekian puluh halaman paperdalam semalam?”
Mila melirik sinis laki-laki di sebelahnya. “Kenapa? Ada masalah?”
Si Kumis mengangkat bahu. “Tidak. Hanya saja, tidak biasanya dia kalah taruhan. Tapi gara-gara kau, yah, di sinilah kita.”
“Maksudnya?”
“Sebenarnya Profesor bisa saja memundurkandeadline kami. Dan dia tidak terlalu keberatan kalau kau tidak bisa menyelesaikan tugasmu. Toh penerbangan ke Amerika cukup lama, dia bisa mengerjakannya di pesawat. Tapi waktu kami ketahuan tidur di lab dengan bau alkohol menyengat dan kerjaan belum selesai, tikus kecil merah itu malah bertaruh kalau kau tidak akan sanggup menyelesaikan file presentasi, sama saja dengan kami. Tapi Profesor bilang kalau kau bisa menyelesaikannya, kami juga harus menyelesaikan tugas kami.” Si Kumis menyerocos tanpa diminta.
Mila memutar bola matanya. Kesal. “Jadi aku harus ada di sini, di hari Minggu, membantu kalian yang bahkan aku tidak tahu apa yang sedang kalian kerjakan?”
Si Kumis menepuk bahu Mila. “Semangatlah. Di negara ini, itulah nasib orang yang memiliki umur paling muda.” Dia pergi sambil bersiul.
Yah, itulah alasan kenapa aku benci negara ini.
“Hei, Junior.” Si Merah menyebalkan menghampiri Mila. “Ini bagianmu.” Dia menyodorkan hampir serim kertas pada Mila. “Buat summary-nya. Bahasa Inggris. Empat halaman.”
Hanya itu yang dia katakan. Lalu pergi begitu saja. Mila memandangnya dari atas sampai ke bawah. Rambut sebahu merah menyala seperti tali rafia, tengkuk yang memperlihatkan choker hitamnya, kemeja dan celana ketat warna hitam, serta high heels. Sepertinya dia bukan habis minum di restoran, tapi di bar.