Manusia adalah makhluk sosial, sebagai konsekuensinya manusia tidak akan terlepas dari interaksi antara individu atau kelompok lain. Dalam dinamikanya, interaksi dapat menyebabkan gesekan positif atau negatif. Gesekan positif adalah manusia dapat saling bergotong royong dalam hal kebaikan sedangkan gesekan negatif adalah manusia dapat saling menghujat satu sama lain karena "setiap manusia punya kepala dan isinya berbeda-beda." Apalagi di era kemajuan teknologi dewasa ini, hampir 80% kehidupan manusia terekam oleh media sosial. Sehingga dampaknya, gesekan antara pengguna media sosial lain tidak dapat dihindari. Seseorang dapat dengan mudah mengeluarkan hate speach tanpa rasa berdosa sedikit pun. Lalu bagaimana cara stoikisme menanggapi hal tersebut? Â
Perlu diketahui, Stoikisme adalah suatu mazhab dalam aliran filsafat yang lahir kira-kira 300 tahun sebelum Masehi, namun ajarannya masih relevan sampai sekarang. Dalam Buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring menyatakan bahwa Tujuan dari stoikisme bukanlah bagaimana cara mendapatkan hal eksternal, seperti jodoh, jabatan, dan sebagainya. melainkan yang menjadi tujuan adalah. 1) Hidup bebas dari emosi negatif, hidup damai dengan mengendalikan segala hal yang ada dalam kendali kita; 2) Hidup mengasah kebajikan. Penganut stoikisme kerap disebut kaum stoa atau stoik.
Dalam ajaran stoikisme, dikenal adanya prinsip "dikotomi kendali", yaitu prinsip fundamental para stoik, bahwa terdapat hal-hal di dalam hidup yang dapat kita kendalikan, dan hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan.
Some things are up to us, some things are not up to us- Epictetus.
terdapat hal-hal yang ada di bawah kendali kita, terdapat hal-hal yang tidak berada di bawah kita.
Tidak di bawah kendali kita, di antaranya: opini orang lain, popularitas dan tindakan orang lain sedangkan di bawah kendali kita di antaranya: keinginan kita, tujuan dan segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri.
Stoikisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat diraih dengan mengendalikan hal-hal yang ada di bawah kendali kita. Sebaliknya, kita tidak akan mendapatkan kebahagiaan sejati selama kita masih menggantungkannya kepada hal-hal yang tidak dalam kendali kita. Misalnya, kita hanya bahagia ketika teman-teman atau dosen memuji kecerdasan kita. Hal ini diibaratkan seperti budak yang terperangkap oleh majikannya. Kebahagiaan dan segala kehendaknya diserahkan kepada orang lain.
Dalam berinteraksi, terlebih di media sosial, tangan-tangan reseh pasti ada saja. mulai dari hujatan, kritik destruktif dan sebagainya sudah menjadi hal yang tidak asing. Stoikisme mempunyai perspektif yang elegan untuk menanggapi hal tersebut, yaitu:
- Butuh dua pihak terjadinya penghinaan. Sesungguhnya penghinaan dapat efektif jika seseorang yang menjadi objeknya itu merasa terhina secara subjektif. Ketika seseorang menghina kita, sesungguhnya itu bukan merupakan penghinaan selama kita tidak merasa sebagaimana yang mereka ungkapkan.
- Mengasihani mereka yang menghina kita. Kenapa orang yang menghina kita harus dikasihani? Stoikisme memiliki prinsip bahwa mereka yang berbuat jahat, termasuk menghina, adalah orang yang memiliki sudut pandang yang keliru terhadap dunia. Misalnya, seseorang menghina "muka lu jelek banget si, pake masker sono ". Pada dasarnya, orang tersebut menghina sebab mempunyai anggapan bahwa orang yang tidak memiliki wajah tampan atau cantik merupakan suatu aib, yang tidak sepantasnya orang lain melihat itu. menurut epictetus, menyebut orang-orang jahat dengan orang yang buta dan pincang nalarnya, sehingga pantas untuk dikasihani.
Mengapa kamu justru tidak mengasihaninya? Sama seperti kita merasa iba kepada mereka yang buta atau pincang, maka kita harus merasa iba kepada mereka yang (nalarnya) 'buta dan pincang'. -Epictetus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H