Menurut penelitian Mujibno (2019), bermain peran yang dirancang dengan menarik dan sesuai dengan tahap perkembangan anak dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka. Dengan meningkatnya kepercayaan diri, anak menjadi lebih mudah berinteraksi dan memahami instruksi dari guru.Â
Ini menunjukkan bahwa bermain peran tidak hanya membantu anak berkomunikasi, tetapi juga mengekspresikan emosi mereka dengan cara yang menyenangkan dan alami. Penelitian lain oleh Febrianti et al. (2021) juga menunjukkan bahwa bermain peran mampu mengembangkan kemampuan anak dalam mengekspresikan dan mengontrol emosi. Melalui kegiatan ini, anak belajar berempati, menghargai orang lain, dan memahami berbagai perspektif.Â
Oleh karena itu, bermain peran tidak hanya berperan sebagai alat untuk berekspresi, tetapi juga sebagai media pembelajaran nilai moral dan sosial yang penting dalam pertumbuhan mereka.
Teori Vygotsky dan Erikson memperkuat pentingnya bermain peran dalam perkembangan anak. Vygotsky menyatakan bahwa permainan simbolik, termasuk bermain peran, berkontribusi besar pada perkembangan kognitif, sosial, dan emosional. Erikson menambahkan bahwa anak usia 6-12 tahun berada pada tahap di mana mereka berusaha menunjukkan kemampuan dan mengatasi rasa tidak percaya diri.Â
Dalam konteks ini, bermain peran memberikan kesempatan kepada anak untuk mengeksplorasi identitas mereka dan memperkuat rasa percaya diri. Bermain peran juga membantu anak mengekspresikan emosi dan pikiran mereka, sekaligus mengembangkan keterampilan sosial dan moral yang penting.
 Hal ini sejalan dengan pandangan Haliza & Nugrahani (2021) yang menyatakan bahwa kepercayaan diri yang terbentuk sejak dini membawa berbagai manfaat dalam kehidupan anak di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.  Â
Berlatih peran secara berulang terbukti efektif dalam membantu anak mengatasi kecemasan berbicara di depan umum. Teknik ini memungkinkan anak mengeksplorasi emosi dan memahami karakter yang dimainkan, sehingga meningkatkan rasa percaya diri (Khairun et al., 2020).Â
Proses latihan berulang membantu anak menginternalisasi peran tersebut, yang pada akhirnya mengurangi kecemasan dan meningkatkan kemampuan komunikasi.Â
Bermain peran tidak hanya mendukung anak dalam mengekspresikan emosi, tetapi juga memberi mereka kesempatan berlatih berbicara di lingkungan yang aman dan mendukung (Febrianti et al., 2021). Dengan latihan ini secara konsisten, anak-anak dapat menghadapi dan mengatasi ketakutan berbicara di depan umum.Â
Tidak hanya itu, berlatih peran secara berulang juga dapat meningkatkan keterampilan komunikasi dan kepercayaan diri. Bermain peran memberikan pengalaman yang mendekati situasi nyata, sehingga anak lebih siap menghadapi tantangan sosial di kehidupan sebenarnya (Dita & Febrianti, 2021).
Anak-anak dapat belajar mendengarkan, merespons, dan berbicara dengan percaya diri melalui berbagai metode pembelajaran interaktif dan partisipatif. Salah satu pendekatan yang efektif adalah teknik bermain peran.Â
Dita & Febrianti (2021) menyatakan bahwa bermain peran memberikan anak kesempatan untuk berlatih mendengarkan dan merespons dalam lingkungan sosial yang aman.Â
Melalui aktivitas ini, mereka tidak hanya melatih keterampilan berbicara tetapi juga belajar menghargai pendapat orang lain, yang merupakan elemen penting dalam komunikasi.Â
Penelitian Yunifia dan Wardhani (2023) menunjukkan bahwa partisipasi dalam bermain peran dapat meningkatkan kepercayaan diri anak saat berbicara di depan umum. Aktivitas ini menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan tidak menakutkan, sehingga anak-anak lebih siap untuk terlibat dalam diskusi kelompok atau melakukan presentasi di kelas.
Selain itu, Rachman et al. (2019) menyatakan bahwa kepercayaan diri berbicara di depan umum dapat dibangun melalui latihan yang konsisten dan dukungan lingkungan. Dengan memberikan anak kesempatan berlatih berbicara dalam suasana yang mendukung, mereka akan merasa lebih nyaman dan percaya diri saat berkomunikasi.
 Bermain peran merupakan salah satu metode efektif bagi anak untuk belajar mendengarkan, merespons, dan berbicara dengan percaya diri. Hal ini sejalan dengan pendapat Haliza & Nugrahani (2021) bahwa membangun kepercayaan diri sejak dini penting untuk mendukung perkembangan komunikasi anak di lingkungan sosial maupun akademis.
Drama sebagai bentuk seni memiliki kemampuan unik untuk mengintegrasikan berbagai elemen, seperti seni, bahasa, dan keterampilan sosial dalam satu aktivitas. Pembelajaran drama tidak hanya melibatkan aspek akting, tetapi juga membutuhkan pemahaman mendalam tentang bahasa dan komunikasi, serta kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain (Anggraeni, 2024).Â
Drama menjadi medium bagi anak-anak untuk mengekspresikan diri, memahami karakter, dan melatih keterampilan sosial yang penting. Drama musikal, yang menggabungkan dialog, nyanyian, dan tarian, memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkolaborasi dan berkomunikasi dalam kelompok (Novriadi & Mayar, 2023).
Aktivitas ini tidak hanya meningkatkan kemampuan bahasa, tetapi juga membangun rasa percaya diri serta keterampilan sosial yang diperlukan dalam interaksi sehari-hari. Keterampilan yang diperoleh melalui drama sangat penting untuk perkembangan sosial dan akademis anak (Haliza & Nugrahani, 2021). Melalui partisipasi dalam drama, anak-anak belajar mendengarkan, merespons, dan beradaptasi dengan berbagai situasi sosial serta keterampilan penting untuk kehidupan mereka.
Pendekatan ini sejalan dengan teori Vygotsky (1978), yang menyoroti peran penting interaksi sosial dalam mendukung perkembangan kognitif anak. Dalam suasana kolaboratif, anak tidak hanya memperoleh pengetahuan baru dari teman sebaya, tetapi juga secara bertahap meningkatkan kemampuan komunikasi mereka.
 Lingkungan belajar yang interaktif seperti ini mendorong anak untuk bertukar ide, berdiskusi, dan bernegosiasi guna mencapai tujuan bersama. Melalui proses ini, mereka belajar memahami sudut pandang orang lain, mengembangkan keterampilan menyampaikan pendapat dengan jelas, serta membangun empati dan kesadaran sosial.
Selain itu, teori pembelajaran sosial dari Bandura (1977) menekankan bahwa anak-anak belajar dengan mengamati dan meniru perilaku orang lain. Dalam kegiatan seperti drama atau bermain peran, anak memperhatikan bagaimana teman-teman mereka berkomunikasi, menyampaikan dialog, dan mengekspresikan emosi atau ide.
 Mereka kemudian mencoba menerapkan apa yang telah mereka amati ke dalam situasi serupa, baik dalam permainan maupun di kehidupan nyata. Hal ini memberikan mereka kesempatan untuk mempraktikkan keterampilan sosial secara langsung, bukan hanya memahami konsepnya secara teoritis.
Oleh karena itu, lingkungan sosial yang positif dan mendukung sangat berkontribusi dalam membentuk keterampilan kerja sama, komunikasi, dan penghargaan terhadap pendapat orang lain. Anak-anak belajar bahwa setiap individu memiliki peran penting, sehingga mereka mulai menghargai perbedaan dan belajar bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.Â
Lingkungan seperti ini tidak hanya memperkuat keterampilan interpersonal mereka, tetapi juga menanamkan nilai-nilai penting seperti rasa hormat, tanggung jawab, dan kemampuan beradaptasi dalam berbagai situasi sosial.
Kepercayaan diri adalah kualitas yang berkembang perlahan-lahan melalui proses yang berkelanjutan dan tidak terjadi secara instan. Rachman et al. (2019) menyatakan bahwa rasa percaya diri muncul ketika seseorang benar-benar memahami kelebihan serta kelemahan yang dimilikinya.Â
Pemahaman ini diperoleh melalui berbagai pengalaman hidup, di mana individu dihadapkan pada tantangan, kesulitan, dan kegagalan yang harus diatasi. Proses ini melibatkan refleksi diri yang mendalam, di mana seseorang mengevaluasi bagaimana mereka merespons situasi tertentu dan apa pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman tersebut.Â
Dengan mengenali kekuatan diri, individu dapat memanfaatkan potensi maksimal yang mereka miliki, sementara kesadaran akan kelemahan memungkinkan mereka untuk memperbaiki diri dan mengembangkan cara yang lebih efektif dalam menghadapi situasi serupa di masa depan.
Proses ini juga melibatkan introspeksi dan refleksi, di mana individu belajar dari pengalaman dan membangun sikap positif terhadap diri sendiri. Untuk mengembangkan kepercayaan diri yang kuat, seseorang perlu aktif terlibat dalam aktivitas yang menantang, tetapi tetap berada di lingkungan yang mendukung dan memberikan rasa aman.Â
Aktivitas ini dapat mencakup situasi di mana mereka menghadapi tantangan baru, membuat keputusan penting, atau berinteraksi dengan orang lain dalam berbagai konteks. Setiap pengalaman, baik yang berhasil maupun yang penuh dengan kesulitan, memberikan kesempatan berharga bagi individu untuk memahami potensi mereka, menyadari keterbatasan, dan mengembangkan keterampilan baru.
Melalui refleksi terhadap pengalaman tersebut, seseorang dapat menilai dirinya secara objektif, mengenali aspek yang perlu diperbaiki, serta menghargai pencapaian kecil yang telah diraih. Proses ini memang memerlukan waktu, dedikasi, dan kesabaran, namun hasilnya adalah peningkatan kepercayaan diri yang membawa manfaat besar dalam berbagai aspek kehidupan.
REFERENSI
Anggraeni, S. D., Ani, M., Dewi, I. A., & Okto W. (2024). Role playing dalam Pembelajaran Drama untuk Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Ilmu Pendidikan, 6, 788 - 798. doi: https://doi.org/10.31004/edukatif.v6i1.6166 Â
Dita, S., & Febrianti, A. (2021). Menstimulasi Tingkat Kepercayaan Diri pada Anak dengan Metode Bermain Peran. 1, 1–18.
Febrianti, Anggreani, Dita, Sonia, Hamzah, Nur, S. (2021). Menstimulasi Tingkat Kepercayaan Diri pada Anak dengan Metode Bermain Peran. Menstimulasi Tingkat Kepercayaan Diri pada Anak dengan Metode Bermain Peran Sonia, 1, 1–11.
Febrianti, A. N., Fajrie, N., & Masfuah, S. (2023). Peningkatan Kepercayaan Diri Siswa melalui Pembelajaran Theater dan Metode Bermain Peran (Role playing). 3, 1370–1380.
Haliza, R. N., & Nugrahani, R. F. (2021). Metode Role Play terhadap Kepercayaan Diri Siswa. Psikodinamika - Jurnal Literasi Psikologi, 1(2), 133–142. https://doi.org/10.36636/psikodinamika.v1i2.850
Khairun, D., Al Hakim, I., & Solihah, N. (2020). Indonesian Journal of Educational Counseling Teknik Role playing untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa SMP Article History Abstract. Indonesian Journal of Educational Counseling, 4(2), 196–202. https://doi.org/10.30653/001.202042.130
Mujibno. (2017). Tode Role playing dalam Menumbuhkan Kepercayaan Diri Anak di TK. Al-Azhar Pagendingan Mujibno. MAHAROT: Journal of Islamic Education, 1(1), 2580–3999.
Novriadi, F., & Mayar, F. (2023). Memperkenalkan Drama Musikal untuk Membangun Kreativitas. 3, 5757– 5768.
Rabbani, A., Ikhwan, A., Bakhtiar, M. I., Yusuf, A., Konseling, B., & Matappa, S. A. (2021). Efektivitas Teknik Role playing untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Mahasiswa. Jurnal Penelitian Pendidikan & Bimbingan Konseling, 2, 61–65.
Rachman, A. A., Djumhan, N., & Riyadi, A. R. (2019). Penerapan Metode Role playing untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa kelas IV Sekolah Dasar. 57 Jpgsd, 57.
Yunifia, R. N., & Wardhani, J. D. (2023). Efektifitas Bermain Peran terhadap Kepercayaan Diri Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 7(2), 2163–2176. https://doi.org/10.31004/obsesi.v7i2.4191
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H