ULAR TANGGA SEBAGAI MEDIA EDUKASI PENANGANAN KASUS ANAK
Wiwik Afifah, S.Pi, SH., MH, Dr. Erny Herlin Setyorini, SH., MH, Rizqullah Rafif Ananda dan Nurma Chrismawantika.
Â
Pendidikan juga menjadi tempat adanya kekerasan pada anak, hal ini merupakan isu signifikan yang mempengaruhi kredibilitas ekosistem pendidikan. Kekerasan pada anak dan remaja berwujud dalam berbagai bentuk seperti kekerasan fisik, psikologis dan kekerasan seksual.
Kasus kekerasan dapat terjadi tanpa melihat batas geografi, status pelaku dan korban termasuk lingkungan pergaulan. Kekerasan terjadi secara langsung kepada korban maupun terjadi dalam jaringan internet melalui media social yang beragam bentuknya. Korban kekerasan online diantaranya adalah anak dan remaja meski terdapat oprang dewasa yang juga menjadi korban kekerasan. Lingkungan pergaulan remaja, baik disekolah, di ruamh atau lingkungan pergaulan terdekat seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembangnya. Sayangnya, media social online menjadi tempat yang sering dikunjungi remaja dan menyuburkan kekerasan dalam berbagai bentuk. Tak lupt juga, institusiKomisi Nasional Hak Manusia untuk Perempuan/ Komnas Perempuan mencatat 99% atau 339.782 merupakan Kekerasan Berbersis Gender/ KGB. Jumlah kasus siber di tahun 2022 di ranah personal sebanyak 821 kasus yang didominasi kekerasan seksual dan terbanyak dilakukan oleh mantan pacar (sebanyak 549 kasus) dan pacar (230 kasus). Sementara kasus Siber di ranah publik terbanyak dilakukan oleh "teman media sosial" sebanyak 383 kasus. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa dengan adanya penggunaan teknologi selama masa pandemi, maka media dilakukannya kekerasan juga berkembang, menjadi kejahatan siber.
Penanganan kasus Kekerasan Berbasis Gender (KGB) bagi anak dan remaja memiliki kerumitan tersendiri mengingat adanya penyebaran informasi yang begitu cepat dan jejak digital yang sulit dihapus. Disisi lain, penanganan kasus KGB menjadi lebih komplek karena posisi tawar anak dan remaja yang lemah. Hal ini disebabkan seringkali korban mengalami hambatan memperoleh keadilan sampai pemulihan. Korban menganggap seringkali pelaku memanfaatkan relasi kuasanya, sehingga belum adanya keadilan bagi korban untuk bersuara. Di sisi lain, adanya stigma bahwa seringkali masyarakat lebih mempercayai pelaku yang cenderung memiliki otoritas kelimuan dan keagamaan dibandingkan dengan korban. Di desa, salah satu faktor penghambat penanganan kekerasan adalah keterbatasan kemampuan kader desa dalam memberikan penanganan dan pemulihan bagi korban. Di desa Candipari, Karang taruna dan forum anak maupun PKK belum memiliki program khusus dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Kekerasan yang tidak ditangani dengan komprehensif akan memberikan dampak bagi korban secara psikis, gangguan kesehatan reproduksi dan kehidupan sosialnya.
Permasalahan kekerasan seringkali ditangani dengan cara mendamaikan pelaku dan korban yang berpotensi adanya kekerasan berulang karena kurang adanya efek jera bagi pelaku dan pemulihan bagi korban. Namun, upaya restorative justice dapat memposisikan pelaku bertanggungjawab, sayangnya hal ini hanya pada kekerasan tertentu yang dilakukan oleh anak dengan tuntutan maksimal 7 tahun. Pemerintah berupaya menyelesaikan kekerasan anak dengan membentuk Kelompok Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat/ PATBM. Pada komunitas ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan desa yang aman dari kekerasan. PATBM Desa Candipari yang diketuai oleh Abah Munif terdiri dari unsur PKK, unsur tokoh agama dan tokoh masyarakat dan tokoh Pendidikan tingkat desa yang berperan melakukan pencegahan kekerasan, kekerasan seksual serta KDRT melalui edukasi pencegahan dan penanganan awal kasus. Keberadaan PATBM Deca Candipari perlu penguatan karena belum memiliki system jemput bola dalam kasus ekekrasan anak maupun penanganan rujukan.
Untag Surabaya yaitu Wiwik Afifah dan Erny Herlin Setyorini menyelenggarakan berbagai kegiatan diataranya Pendidikan gender dan advokasi, penangana kasus dan pencatatan kasus hingga pembuatan konten. Media pengabdian yang dieprgukan untuk PATBM Candipari adalah Ular Tangga Perlindungan anak.
Ular tangga ini memiliki 20 tangga dan 20 ular yang merepresentasikan hal positif dan upaya desa atau kembagaan atau proses penanganan kasus yang berdampak baik bagi korban. Sedangkan ular merepresentasikan upaya hukum yang kurang, Langkah yang salah, alat bukti yang kurang, modus kekerasan hingga keragaman kekerasan yang harus diselesaikan. Ular tangga yang berukuran 3 x 3 meter ini dapat dimainkan oleh 6 orang sekaligus dengan 1 dadu. Ukuran yang ebsar ini dimaksudkan agar selian pemain dapat menyimak identifikasi kasus, proses penaganan kasus maupun tanggungjawab kelembagaan PATBM ataupun desa. Adapun versi kecil berukuran seperti ular tangga pada umumnya.
Cara penggunaan ular tangga sebagimana pada umumnya, namun ada Langkah Dimana Ketika pemain menjalankan pionnya menerima kotak bergambar ular maka akan dibacakan oleh wasit atau pemain lain kartu edukasinya. Misalnya pemain A menempati nomor 25 yang menunjukkan ekor ular, lalu dibacakan kartu bertuliskan "Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian ke orang lain tanpa persetujuan atau dengan pemaksanaan persetujuan". Contoh lainnya di nomor 42 "Kekerasan seksual yang terjadi di dalam kamar dan tidak ada yang menyaksikan, tidak bisa di proses hukum karena hanya ada 1 bukti yaitu pakaian korban. Ini pernyataan yang salah".
Sedangkan apabila pion menempati nomor yang menunjukkan gambar tangga maka dapat melanjutkan perjalannya menuju nomor lebih atas sebagai bentuk jalan pintas. Adapun ebebrapa isi kartu pada tangga yaitu posisi tangga "Desa memiliki system pemantauan dan pencegahan kekerasan yang terjadi didesa", Kekerasan seksual yang terjadi di dalam kamar dan tidak ada yang menyaksikan, dapat di proses hukum karena ada bukti berupa surat keterangan hasil visum et repertum dan korban itu sendiri". Setelah perjalanan pion sampai 2 putaran masing-masing pemain, kartu dibahas atau didiskusikan sehingga ada pemahaman kader. Adapun ejnis kartu disesiakan 2 yaitu perlidnungan anak dan penaganan dan rujukan kasus.