Feminisme merupakan sebuah gerakan dan ideologi yang memperjuangkan kesetaraan hak dan kesempatan bagi perempuan di segala bidang kehidupan. Dalam hal ini, feminisme menentang segala bentuk diskriminasi, penindasan, dan ketidakadilan yang dialami perempuan semata-mata karena jenis kelaminnya. Feminis memperjuangkan hak asasi perempuan karena selama berabad-abad, perempuan mengalami berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan oleh pandangan dan sistem patriarki yang mendominasi masyarakat. Oleh karena itu, sudah banyak perempuan yang mulai sadar akan pentingnya hak dan peran mereka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Banyak tokoh tokoh perempuan yang sudah mulai menyuarakan aspirasi mereka di panggung internasional untuk mendapatkan kesempatan yang sama yang biasanya bias pada laki laki.
Tahun 2024 menjadi momen penting bagi perjalanan panjang perjuangan feminisme di Prancis, khususnya dalam konteks hak aborsi. Melalui serangkaian perdebatan dan diskusi publik yang panas, pemerintah Prancis akhirnya memutuskan untuk melakukan perubahan signifikan pada kebijakan hak aborsi. Keputusan ini tidak hanya mencerminkan langkah berani dalam menghadapi isu sensitif yang telah lama menjadi pertentangan, tetapi juga merefleksikan bagaimana feminis berperan dalam mendorong reformasi yang sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi perempuan.
Sebelum amandemen kebijakan tahun 2024, Prancis telah mengizinkan aborsi legal sejak tahun 1975 dengan pembatasan hingga usia kehamilan 12 minggu. Meski dianggap relatif progresif pada masanya, aturan ini terus mendapat kritik dari kelompok feminis yang menilai bahwa batasan waktu tersebut masih terlalu membatasi hak perempuan atas tubuh dan keputusan reproduksinya. Selain itu, masih terdapat sejumlah hambatan administratif dan biaya yang menyulitkan akses terhadap layanan aborsi aman, terutama bagi perempuan dari kalangan ekonomi rendah.
Memasuki tahun 2024, tekanan dari gerakan feminis untuk mereformasi kebijakan aborsi kembali mencuat. Para aktivis menyuarakan agenda perjuangan mereka melalui berbagai cara, mulai dari kampanye publik hingga aksi-aksi damai di jalanan. Mereka mengangkat narasi tentang pentingnya menjamin hak aborsi sebagai bagian tak terpisahkan dari hak asasi perempuan, termasuk hak untuk menentukan nasib reproduksi mereka sendiri, bebas dari diskriminasi dan kekerasan.
Dalam perdebatan seputar kebijakan hak aborsi di Prancis tahun 2024, gerakan feminis menyuarakan pandangan bahwa aborsi merupakan bagian tak terpisahkan dari hak asasi perempuan. Mereka meyakini bahwa setiap perempuan memiliki hak penuh atas tubuh dan kehidupan reproduksinya sendiri, termasuk kebebasan untuk memutuskan apakah akan melanjutkan kehamilan atau tidak. Pembatasan hak aborsi dianggap sebagai pelanggaran terhadap otonomi tubuh perempuan dan kebebasan untuk menentukan nasib hidup mereka. Feminis menolak upaya-upaya untuk mengontrol tubuh dan kehidupan reproduksi perempuan, baik oleh negara, agama, atau pihak lain, karena dianggap sebagai bentuk penindasan dan pembatasan kebebasan individu.Â
Selain itu, kelompok feminis menekankan bahwa dengan adanya kebijakan aborsi yang legal, perempuan dapat menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, yang mungkin terjadi akibat perkosaan, kegagalan kontrasepsi, atau situasi lain yang tidak terduga. Mereka berpendapat bahwa dengan membatasi aborsi, banyak perempuan justru terpaksa mencari cara ilegal yang tidak aman dan membahayakan nyawa mereka. Oleh karena itu, mereka mendukung aborsi legal sebagai upaya untuk melindungi kesehatan dan keselamatan perempuan.
Disisi lain debat publik yang intens pun terjadi, dengan berbagai pihak menggemakan perspektif mereka masing-masing. Kelompok konservatif dan agamis mengkritik keras upaya perluasan hak aborsi, menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap hak hidup janin dan nilai-nilai moral. Sementara itu, para pendukung reformasi menekankan urgensi untuk menghormati hak asasi perempuan secara utuh, termasuk hak atas otonomi tubuh dan kebebasan memilih.
Dalam situasi yang penuh gejolak ini, pemerintah Prancis akhirnya mengambil langkah berani dengan memperpanjang batas usia kehamilan untuk aborsi legal menjadi 24 minggu. Keputusan ini diiringi dengan serangkaian kebijakan pendukung, seperti peningkatan akses terhadap layanan aborsi yang aman dan terjangkau, serta penghapusan sejumlah persyaratan administrasi yang selama ini menjadi hambatan.
Perubahan kebijakan ini disambut dengan suka cita oleh kelompok feminis dan pendukung hak asasi perempuan. Mereka menyambut baik langkah ini sebagai kemenangan besar bagi perjuangan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Keputusan pemerintah Prancis dinilai sebagai pengakuan terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia yang menghormati kebebasan perempuan untuk menentukan nasib reproduksi mereka sendiri, tanpa diskriminasi atau paksaan.
Namun, di sisi lain, keputusan ini juga memicu reaksi keras dari kelompok-kelompok yang menentang aborsi. Mereka mengutuk kebijakan baru ini sebagai tindakan yang tidak bermoral dan melanggar hak hidup janin. Aksi-aksi protes pun digelar, menciptakan suasana yang semakin memanas dalam lanskap sosial-politik Prancis.
Di tengah perdebatan yang berlangsung sengit, pemerintah Prancis tetap berpegang pada komitmen untuk menjunjung tinggi hak asasi perempuan dan menghormati keputusan mereka atas tubuh serta kehidupan reproduksi mereka sendiri. Mereka menekankan bahwa kebijakan baru ini tidak serta merta menjadikan aborsi sebagai pilihan utama, melainkan memberikan ruang bagi perempuan untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing.