Mohon tunggu...
Rizqotun Wasiah
Rizqotun Wasiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Riris hobby membaca novel dan bernyanyi kesehariannya hanya ada kebahagian :)

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Buku: Hukum Perdata Islam di Indonesia

12 Maret 2024   12:43 Diperbarui: 12 Maret 2024   13:04 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk me-langsungkan perkawinan. Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaskud di dalam ayat di atas mengacu kepada dua hal; syarat administratif dan syarat materiil.

Perspektif KHI berkenaan dengan pencegahan ini, agaknya KHI mengikut rumusan-rumusan UUP walaupun dalam bagian tertentu ada beberapa penambahan dan modifikasi. Secara eksplisit KHI menyatakan perkawinan dapat dicegah jika terdapat syarat-syarat yang tidak terpenuhi, baik yang berkenaan dengan syarat administratif ataupun syarat materiil. Tujuannya adalah untuk menghindari perkawinan yang terlarang.

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan yang dalam fikih tidak dicantumkan secara jelas tentang pencatatan perkawinan, dalam Al-Quran hanya ada dalil tentang anjuran mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Dalil inilah yang dijadikan acuan tentang pencatatan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan UUP perkawinan yang sebagai-mana terlihat nanti, tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan per-kawinan itu dilaksanakan.

Di dalam UU No 1/1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa:

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam KHI dimuat masalah pencatatan perkawinan pada pasal 5 dan pasal 6. Aturan-aturan di dalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak hanya bicara masalah administratif. Pertama, di dalam pasal 5 ada klausul yang menyatakan "agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam." Ketertiban disini menyangkut tujuan hukum Islam yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, pasal 6 ayat 2 ada klausul "tidak mempunyai kekuatan hukum". Apa makna tidak memiliki mempunyai kekuatan hukum ini, tetapi sayangnya KHI tidak memiliki penjelasan.

Buku ini juga membahas tentang tata cara atau prosedur melaksanakan perkawinan yang sesuai, yang dijelaskan cukup lengkap dan runtut mulai dari pemberitahuan, penelitian, pengumuman hingga pelaksanaan perkawinan yang dibahas menggunakan pandangan hukum seperti mencamtumkan pasal-pasal yang terkait dengan pembahasan. Sehingga pembaca dapat melaksanakan urutan pelaksanaan perkawinan tanpa harus melanggar hukum yang sedang berlaku.

Selanjutnya mengenai perjanjian perkawinan, perlu dicatat bahwa ada dua hal yang penting mengenai perjanjian ini. Pertama, perjanjian perkawinan ini bukan merupakan sebuah kemestian. Tanpa ada perjanjian perkawinan pun, perkawinan itu dapat dilaksanakan. Kedua, berkenaan dengan isi perjanjian tersebut kendati pada dasarnya dibebaskan tetapi perlu diingat bahwa tidak boleh bertentangan dengan aturan syari'at.

Selanjutnya larangan yang tampaknya berkenaan dengan larang perkawinan yang termuat di dalam Fikih, UUP dan KHI tidak menunjukkan adanya pergeseran konseptual dari fikih, UPP dan KHI. Hal ini disebabkan karena masalah larangan perkawinan ini adalah masalah normatif yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang taken for granted. Kendati demikian sebenarnya mash ada satu bentuk larangan perkawinan yang tidak diatur dalam KHI di Indonesia, yaitu nikah mut'ah.

Pembahasan selanjutnya menyinggung mengenai poligami, jika dilhat dari hukum Islam, Al-Quran juga menyinggung tentang masalah poligami ini pada surah an-Nisaa ayat 3 dan ayat 129, dan pada buku ini juga disertai pendapat penulis mengenai poligami dan juga pendapat dari ulama-ulama yang juga menjelaskan tentang syarat-syarat dan alasan dari poligami itu sendiri.

Hak dan kewajiban suami istri perkawinan tidak saja dipandang sebagai media merealisasikan syari'at Allah agar memperoleh kebaikan dunia akhirat, tetapi juga merupakan sebuah kontrak perdata yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Dalam fikih mengenai hak dan kewajiban suami istri, di antara kewajiban suami terhadap istri adalah berlaku adil dalam mengatur waktu untuk para istri, memberi nafkah dan lemah lembut dalam berbicara terhadap mereka. Sedangkan, berkewajiban istri kepada suami dijelaskan bahwa wanita-wanita yang salih seperti yang diketahui oleh ayat adalah mereka yang taat pada suami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun