Suku Adat Togutil
Suku Togutil termasuk dalam 21 suku yang berada di Utara Maluku dan masih tergolong primitif, bahkan hingga saat ini tetap mempertahankan nilai-nilai serta tradisi mereka. Nama Togutil sendiri berarti suku yang tinggal di hutan, atau dalam Bahasa Halmahera disebut "Pongana Mo Hidup". Mereka hidup dalam kelompok dan sangat menjaga serta melindungi kearifan lokal, yang salah satunya adalah larangan untuk menebang hutan secara sembarangan. Bagi mereka, hutan dipandang sebagai anugerah dari Tuhan yang perlu dilestarikan karena hutan telah memberikan kehidupan bagi mereka (Bayau, 2023).
Masyarakat Suku Togutil memiliki dorongan yang kuat untuk menjaga hutan (Rhenadia dkk., 2022). Hal tersebut dikarenakan hutan berkaitan dengan kelangsungan hidup mereka, serta pengetahuan tradisional yang dimiliki tentang cara merawat dan memanfaatkan sumber daya hutan yang terdapat di dalam habitat mereka. Bagi mereka, hutan bukan hanya sumber kebutuhan hidup, seperti kayu dan hasil non-kayu, tetapi juga tempat sakral untuk berkomunikasi dengan leluhur, pembukaan hutan hanya dilakukan untuk keperluan yang esensial, seperti pengembangan perkebunan, sehingga keseimbangan ekosistem tetap terjaga (Bayau, 2023).
Suku Adat Pipitak
Suku Adat Pipitak memiliki beberapa pantangan, antara lain dilarang menebang pohon sembarangan dan tidak diperkenankan memanfaatkan hasil hutan pada malam hari (Rhenadia dkk., 2022). Kepercayaan serta pantangan terkait hutan di Desa Pipitak Jaya berhubungan erat dengan sumber air yang menjadi penopang kehidupan mereka. Masyarakat desa ini meyakini bahwa keberadaan banyak sumber air di desa mereka sangat bergantung pada kelestarian hutan (Raihanah dkk., 2018). Mereka percaya bahwa jika hutan rusak, maka sumber air yang digunakan oleh masyarakat akan mengering.
Saat membuka hutan untuk perladangan, mereka mengadakan upacara adat sebagai bentuk rasa hormat dan kehati-hatian dalam menebang pohon, karena percaya setiap pohon memiliki penunggunya. Sebelum menebang pohon, mereka memberi sesajen berupa telur ayam, kelapa muda, pisang, bunga, dan bubur sebagai persembahan kepada leluhur. Upacara ini dimaksudkan untuk memohon izin dan perlindungan agar tidak ada gangguan pada tanaman di ladang mereka (Raihanah dkk., 2018).
Suku Adat Anak Dalam
Makna utama dalam kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat adat Suku Anak dalam adalah aturan dan pedoman hidup yang diteruskan secara turun-temurun, yang mencerminkan keselarasan, keseimbangan, dan keasrian hutan, yang merupakan bagian dari leluhur mereka dan sumber kehidupan mereka (Triana & Putri, 2022). Bagi masyarakat adat Suku Anak Dalam, hutan adalah kawasan yang sangat penting, baik dari segi sosial maupun keagamaan (Rhenadia dkk., 2022). Mereka memiliki hutan keramat, yang tidak boleh diganggu atau dimasuki oleh pihak manapun tanpa izin dan kesepakatan bersama.
Bagi Suku Adat Anak Dalam, ladang yang telah lama ditinggalkan karena alasan melangun (meninggalkan tempat tinggal di sekitar orang yang meninggal untuk waktu yang lama, berkisar antara empat bulan hingga satu tahun) akan berubah menjadi sesap, yaitu ladang yang ditinggalkan namun masih dapat menghasilkan sumber pangan jika mereka kembali setelah melangun. Setelah tidak lagi menghasilkan makanan pokok, sesap akan berubah menjadi belukor. Meskipun belukor tidak lagi menghasilkan makanan pokok, masih ada tanaman buah-buahan dan tumbuhan lain yang tumbuh, seperti durian, duku, rambutan, cempedak, petai, pohon sialang, dan berbagai jenis rotan, yang tetap bermanfaat bagi mereka. Belukor ini kemudian akan berkembang menjadi benuaron, sebuah kebun yang berfungsi sebagai sumber makanan berupa buah-buahan dan kayu yang berguna. Seiring waktu, ketika tanaman di benuaron tumbuh lebih besar dan tua, kebun tersebut akhirnya akan kembali menjadi rimbo, yaitu hutan (Santoso dkk., 2022).
Suku Dayak
Masyarakat Dayak memandang hutan sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka memiliki kedekatan yang sangat erat dengan alam. Pandangan ekonomi dan cara masyarakat Dayak melihat alam sangat berbeda. Mereka tidak menganggap alam dan segala isinya sebagai benda mati, melainkan setiap elemen alam memiliki "gana", yaitu roh yang menyertainya (Natalia & Ediyanto, 2024). Hutan, bumi, lingkungan, dan semua makhluk hidup di dalamnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Dayak. Oleh karena itu, masyarakat Dayak memandang hutan seperti 'ibu' yang harus dihormati, dimuliakan, dipelihara dengan cinta, dan hanya mengambil apa yang mereka perlukan (Mulyani, 2022).