Tanggal 14 Februari 2024 lalu, masyarakat Indonesia baru saja melaksanakan pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) serentak untuk memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden, Calon Anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten/Kota.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 tanggal 20 Maret 2024, telah ditetapkan bahwa Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 2 (H. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka) menjadi pemenang dengan jumlah suara sah sebanyak 96.214.691 (58,59%).
Sedangkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 1 (H. Anies Rasyid Baswedan, Ph.D dan Dr. (H.C.) H. A. Muhaimin Iskandar) mendapatkan suara sah sebanyak 40.971.906 (24,95%) dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 3 (H. Ganjar Pranowo, S.H., M.I.P dan Prof. Dr. H. M. Mahfud MD) mendapatkan suara sah sebanyak 27.040.878 (16,47%).
Dalam tulisan ini akan dibatasi dengan hanya membahas Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden saja.
Siapa yang Berwenang Memutus PHPU?
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memiliki kewenangan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Merujuk pada pengertiannya, perselisihan hasil Pemilu pada dasarnya adalah perselisihan antara KPU dengan peserta Pemilu.
Bentuknya baik perselisihan hasil Pemilu anggota DPR dan DPRD, perselisihan hasil Pemilu anggota DPD, maupun perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan KPU.
Poin-poin penyelesaian perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang termuat dalam Pasal 475 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada MK dalam waktu paling lama 3 hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.