Abdul hakim kembali menghampiriku. “Akhie, akhwat teman ana tadi nanyain antum.” Terlihat sumringah wajah Abdul Hakim.
“Antum serius Tadz? Nanya apa Tadz? Terus antum jawab apa Tadz?” Aku teramat amat antusias sekali. Salah satu kebiasaan anak-anak ma’had terkadang saling memanggil dengan sebutan ustadz atau tadz.
“Cuma nanya singkat aja. Antum alumni mana katanya, dia kirain antum alumni Libya soalnya dia bilang belum pernah lihat antum di komunitas mahasiswa Mesir. Jadi, gimana? Mau?” Mendengar ucapan Abdul Hakim aku merasa lemas sekali. Terlihat akhwat itu berselera tinggi, nampaknya menginginkan seorang laki-laki alumni Timur Tengah.
“Wah, akhwat teman antum seleranya tinggi. Baguslah. Wajar. Semua wanita berharap calon suaminya alumni luar negeri. Ana mundur aja Tadz. Ana mah Cuma lulusan lokal.” Ujarku lemas.
“Lho? Antum salah tafsir, Akhie. Dia nanya antum tuh menunjukkan dia ada perhatian sama antum. Ucapan dia cuma basa-basi aja. Optimis dong, Akh!” Kutarik nafas dalam-dalam, terasa segarnya udara senja memasuki rongga dadaku.
“Ya udah Tadz. Ana coba istikhorohi tawaran antum.” Jawabku singkat. Tiba-tiba aku merasa sangat tua sekali. Menikah. Haruskah aku menikah secepatnya? Sudah siapkah jiwaku? Entahlah…
---***---
( to be continued.. )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H