Sebelum jauh membahas reformasi atau bubarkan saja parlemen, akankan baik ketika kita tahu apa itu parlemen dan mengapa ada mosi bubarkan. Secara definisi etimplogi Bahasa Prancis Parlemen berasal dari kata “Parler” yang berarti “untuk bicara”. Dari definisi lain kata “parliament” berarti gabungan individu yang dipilih guna membuat dan mengubah suatu aturan (Oxford Learner’s Dictionary). Parlemen sendiri merupakan badan legislatif yang ada di negara-negara penganut sistem Westminser dan Britania Raya. Sejarah parlemen dimulai dari abad akhir 17 dan di awal abad 18 atau ditahun 1789 disaat reformasi Prancis. Di Indonesia parlemen dikelompokkan menjadi Majelasis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Pewakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). MPR memiliki peran tinggi dalam parlemen, namun di Indonesia nampaknya DPR yang lebih aktif dan ter notice oleh masyarakat mengapa demikian?.
Jika ditilik atau ditinjau dari kewenangannya MPR,DPR, dan DPD memiliki kewenangan berbeda dan tersendiri, MPR lebih bersifat sesekali dan beberapa bersifat seremonial saja. Berbeda dengan DPR serta DPD yang memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, namun DPD tidak menjalankan secara penuh ketiga fungsi tersebut. misalnya, dalam fungsi legislasi, kewenangan DPD terbatas hanya pada pengajuan dan pembahasan dan tidak sampai pada persetujuan. Pembuat keputusan akhir adalah DPR dan Presiden. Ini yang membuat DPR terlihat lebih terlihat aktif daripada MPR dan DPD.
Pada dasarnya parlemen mengemban peranan penting dari eksistensi suatu negara, jika ditilik secara konseptual dan historis, kehadiran parlemen disuatu negara untuk mengimbangi kekuasaan pemerintah melalui pemisahan dan pembatasan kekuasaan agar tidak ada “super power” dalam pemerintahan. Selain itu juga menjadi wadah representasi atau wadah aspirasi dari rakyat untuk dapat mengawal pemisahan kekuasaan.
Setiap anggota perwakilan rakyat harus anggota salah satu fraksi. Maka dalam keberjalanannya menyusun sebuah rancangan Undang-Undang, menyusun program legislasi nasional, atau kebijakan lainnya, dibutuhkan yang namanya fraksi atau kelompok anggota DPR yang memiliki pandangan politik yang sama. Harapannya dengan dibentuknya kelompok ini, perwakilan rakyat bisa lebih optimal dalam menjalankan tugasnya. Namun kenyataan keberjalanannya belum dapat dikatakan optimal, jika kita melihat banyak fenomena perlawanan dari masyarakat (demonstran) yang menyuarakan suaranya padahal seharusnya suaranya telah diwakili, tapi entah suara siapa yang disuarakan oleh wakil rakyat di ranah parlemen.
Reformasi Parlemen merupakan solusi atau problematika tambahan?
Pada kondisi aktualnya lembaga parlemen di Indonesia tidak menampung aspirasi masyarakat, namun aspirasi sekelompok masyarakat, atau mungkin dalam bahasa bagusnya hanya ditampung. Benar, kelompok masyarakat yang memiliki tujuan pribadi dengan mengatas namakan publik. Kepentingan pribadi di taruhkan dalam konteks kebijakan kepada publik yang tak lain dan tidak bukan untuk saling menguntungkan kelompok masyarakat tersebut. Dalam buku Management Reform ada penjelesan mengenai Reformator, yang sejatinya mereka mengusulkan perubahan atas apa yang ia ingingkan dan mengumpulkan kepentingan yang sama untuk menuntut perubahan. Namun, akankah ada reformator yang memang memiliki kepentingan yang sama dengan sejatinya masyarakat?
Lembaga legislatif atau parlemen merupakan lembaga yang dibentuk masyarakat melalui kontrak sosial yang sebenarnya digunakan untuk memberikan pelayanan kembali kepada masyarakat. Namun, kepentingan memanglah kepentingan, bahkan kita dihadapkan dengan perbedaan redaksi ”masyarakat”. Penentu kebijakan adalah masyarakat, elite yang mempengaruhi kebijakan adalah masyarakat, sekelompok orang yang menggunakan kepentingan pribadinya untuk mempengaruhi kebijakan adalah masyarakat, dan individu atau bahkan banyak individu yang setiap hari menangis kelaparan, jatuh bangun untuk sekedar bisa bertahan hidup, itu juga masyarakat. Pada kategori mana parlemen menyuarakan suara “masyarakat?”. Banyak kebijakan yang dirasa tidak pro atau memihak masyarakat, misalnya RUU Omnibuslaw atau undang-undang cipta kerja, yang mana lebih memihak para investor dan pemangku kebijakan.
Dalam peranan mewadahi aspirasi produk dari parlemen yakni DPR atau Dewan Pewakilan Rakyat yang memiliki fungsi legislasi. Yang mana dalam pembuatan atau perumusan kebijakan seyogyanya berdasarkan kebutuhan masyarakat luas. DPR juga dituntut agar bisa menjadi parlemen modern yang bertujuan untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat luas dan legitimasi DPR, termasuk juga bagaimana meningkatkan partisipasi publik dalam kerja-kerjanya. Dewan Perwakilan Rakyat bertanggungjawab akan suara yang diwakilinya, namun banyak kejadian bahwa wakil rakyat tidak menyuarakan suara yang diwakilinya. Banyak masyarakat yang menyuarakan mosi tidak percaya atau publik sudah tidak percaya lagi dengan wakilnya. Sebuah pertanyaan besar, reformasi sistem atau reformasi anggota parlemen?
Reformasi sistem parlemen berarti perubahan kerangka kerja, pengawasan kerja dan penerapan indikator-indikator pencapaian. Reformasi sistem dikategorikan reformasi jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek berarti masalah-masalah yang ada segera dievaluasi dan hasil solusi segera dilaksanakan. Misalnya dalam kondisi aktual menurut pusat perancangan UU dan DPR, sekarang konsep parlemen direformasi menjadi konsep modern, dimana DPR diharapkan dapat menjadi parlemen yang bukan lagi lembaga negara bersifat statis, namun harus bisa mengikuti perkembangan baik didalam maupun diluar parlemen. Dan jangka panjang berarti perubahan yang sifatya fundamental.
Jika ditarik sejarahnya perjalanan parlemen di Indonesia dimulai dengan “volskraad” hingga sekarang DPR, yang sangat berdinamika. Dengan sejarah pernah dibubarkan karena fungsinya tidak jelas, dan kemudian dibentuk lagi untuk memisahkan kekuasaan pemerintah. Pada tahun 1998 parlemen dibobol oleh mahasiswa dan masyarakat karena dianggap tidak mampu mengurus dan bertindak sesuai fungsinya. Gedung parlemen dilucuti dan di kuasai oleh para demonstran. Fenomena ini adalah bukti bahwa kapan saja reformasi bisa terjadi ketika kedaulatan rakyat terjadi. Namun, masyarakat yang seharusnya pemilik kekuasaan tertinggi seakan acuh akan tugasnya sebagai pengawasan pelaksanaan pemerintah. Masyarakat mulai sibuk dengan apa yang ia kerjakan seakan kapitalis menguasai dan masyarakat hanyalah kaum pekerja. Peran masyarakat harus kembali diluruskan sehingga fungsi pengawasan secara tidak langsung dari publik memberi tekanan oleh pemangku kebijakan atau parlementer. Redaksi reformasi sangat kompleks, dari sudut mana parlemen harus direformasi.
Bubarkan saja!
Melihat fungsi parlemen sebagai wakil suara rakyat dan rakyat merasa tidak disuarakan aspirasinya, membuat banyak kalangan masyarakat yang melontarkan kata “Bubarkan DPR”. Namun, pembubaran dewan perwakilan rakyat apakah efektif dan menjadi solusi?. Ketika parlemen dibubarkan maka tugas dan wewenang harus dilimpahkan kemana?, lembaga mana yang mengambil alih tugas dan wewenang paremen. Mosi bubarkan DPR sempat menjadi perbincangan yang cukup menarik, perlu kita ketahui bahwa Indonesia pernah tidak punya dewan perwakilan sebagai lembaga legislatif. Namun, hal tersebut juga tidak memberikan udara segar, malah memperburuk keadaan karena adanya “super power” dalam kekuasaan.
Perubahan secara fundamental memang perlu dilakukan, terutama dalam sistem dan sumber daya manusianya. Karena banyak kunci untuk menuju optimal. Misalnya jika tiap individu dalam tubuh parlemen memiliki mindset dan visi yang benar yakni mensejahterakan masyarakat luas, setidaknya kepentingan sekelompok masyarakat dapat diminimalisir. Dalam buku public menejement reform dengan sistem menejemen yang ideal serta menutup celah penyelewangan kekuasaan, nampaknya kerja parlemen bisa menuju optimal. Maka dari itu reformasi harus dilakukan secara terstruktur dan jelas dengan menutup segala celah penyelewengan kekuasaan. Lebih keras lagi ketika setiap kali parlemen tidak bisa menjalankan tugasnya kedaulatan rakyat menuntut dengan pressure mengoptimalan hingga mosi harus mundur dari jabatan.
Rizqi Maghfur, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Diponegoro
Daftar Referensi
Christoper Pollint dan Geert Bouckaert. 2011. “Public Management Reform A Comparative Analysis”. Halaman 36.
dpr.go.id. 2016. “Fraksi”. https://www.dpr.go.id/tentang/fraksi.
dpr.go.id. 2016.”Tugas dan Wewenang”. https://www.dpr.go.id/tentang/tugas-wewenang.
Omara A., Setiono, J., Ibrahim., & Rahman, F. “Perkembangan Teori dan Praktik Mengenai Parlemen di Indonesia”. Halaman 163-164 dan 184.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H