Kebijakan Pembentuk Undang-Undang
Saldi menjelaskan bahwa Mahkamah tetap pada pendirian bahwa ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang sepanjang penentuan tersebut menggunakan dasar metode dan argumentasi yang memadai.
Mahkamah berpendapat bahwa perubahan norma ambang batas parlemen perlu dilakukan dengan memerhatikan beberapa hal, termasuk menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional dan mewujudkan penyederhanaan partai politik. Saldi juga menyatakan bahwa pemaknaan terhadap norma yang diajukan oleh Pemohon tidak dapat dikabulkan oleh Mahkamah karena merupakan bagian dari kebijakan pembentuk undang-undang.
Tidak Dapat Diterima
Mahkamah menyatakan tidak menerima permohonan dari Partai UMMAT karena norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu telah memiliki pemaknaan baru setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023. Oleh karena itu, meskipun secara redaksional masih sama, makna norma tersebut bukan lagi sebagaimana yang termaktub dalam permohonan Pemohon.
“Artinya, norma a quo masih tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024, namun secara substansi norma a quo telah mengalami perubahan makna berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUUXXI/2023. Dengan demikian, terlepas dari terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, oleh permohonan Pemohon, dalil Pemohon berkaitan dengan pengujian inkonstitusionalitas bersyarat norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 telah kehilangan objek,” ujar Daniel yang membacakan pertimbangan Putusan Nomor 124/PUU-XXI/2023 tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H