Jakarta, Mahkamah Konstitusi melakukan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Hal ini tercantum dalam perkara Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM).
Perludem mempersoalkan norma pada Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa “paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional”. Pemohon menyebut bahwa ambang batas dengan sistem proporsional. pemohon berargumen, ambang batas parlemen ini adalah salah satu variable penting dalam proses konversi suara menjadi kursi. Perludem mengatakan, ambang batas ini tidak boleh dikaitkan pada ketentuan dalam pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur bahwa Pemilu Legislatif dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah tidak menemukan dasar metode dan argument yang memadai dalam menentukan besaran angka ambang batas parlemen dimaksud dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
Terjadi Disproporsional
Saldi menyatakan bahwa ambang batas parlemen berdampak pada konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR, yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. Dalam sistem pemilihan proporsional, jumlah suara yang diperoleh partai politik seharusnya sejalan dengan kursi yang diraih di parlemen agar hasil pemilu menjadi proporsional. Oleh karena itu, dalam sistem pemilu proporsional harus meminimalisir suara yang terbuang agar hasil pemilu tidak menjadi tidak proporsional.
Mahkamah menyatakan bahwa pada Pemilu 2004, sekitar 18% suara sah tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR, sedangkan pada Pemilu 2019 sekitar 9,7% suara sah mengalami hal yang serupa. Meskipun pada Pemilu 2014 jumlah suara yang tidak dapat dikonversi lebih sedikit, namun jumlah partai politik di DPR lebih banyak dibandingkan dengan Pemilu 2009 dan 2019.
Saldi menyatakan bahwa penerapan ambang batas parlemen dalam pemilu anggota DPR telah menyebabkan ketidakproporsionalan antara suara pemilih dan jumlah partai politik di DPR. Hal ini menunjukkan bahwa hak konstitusional pemilih tidak dihitung atau hangus karena upaya menyederhanakan partai politik untuk menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dengan lembaga perwakilan yang efektif.
Menurut Mahkamah, penentuan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak didasarkan pada dasar metode dan argumen yang memadai telah menimbulkan ketidakproporsionalan hasil pemilu. Hal ini terlihat dari tidak proporsionalnya jumlah kursi di DPR dengan suara sah secara nasional. Namun, kewenangan pembentuk undang-undang dalam menentukan ambang batas parlemen termasuk besaran atau persentase dapat dibenarkan selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.