Dalam sistem ketatanegaraan tersebut, hukum negara menjadi hukum agama dan hukum agama juga menjadi hukum negara. Relasi agama dan negara tersebut berjalan aman dan damai tanpa adanya konflik. (sejarah penerapan sistem pada kerajaan samudera pasai dan perelak)
Assalamualaikum wr. Wb.
Menyadari bahwa kita merupakan individu yang membutuhkan orang lain. kita dengan orang lain disebut dengan kelompok. Maka, Individu merupakan bagian dari kelompok. kelompok merupakan bagian dari komunitas, dan komunitas merupakan bagian dari populasi. Hal tersebut bisa saya selaraskan dengan hadirnya suatu negara, karena negara pada dasarnya adalah suatu perkumpulan dari banyak orang yang memiliki tujuan yang sama. Lalu, menjadi kompleks dengan memenuhi syarat konsitusi dan deklarasi, yaitu memiliki wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain.
Catatan otentik mengungkap bahwa indonesia hadir karena perjuangan dari berbagai suku, ras, dan agama yang beragam. Kesamaan nasib terhadap kehidupan yang dialami menjadi spirit para tokoh dan masyarakat untuk membangun suatu negara yang aman, makmur, dan sejahtera. Maka dasar yang dimiliki oleh indonesia adalah hasil pemikiran dan kulturasi dari segala dimensi yang ada di indonesia. Salahsatunya adalah agama.
Sebelum saya membahas mengenai lahirnya pancasila yang berdasar pada pondasi – pondasi keislaman. saya akan memberi pemahaman bagaimana pancasila kita bisa selaras dengan pondasi keislaman tanpa mengurangi kemurnian dari keberagaman yang berada di indonesia. Yaitu dengan mengetahui akar historis agama dan negara di masa awal islam.
.
.
Awal dari keterkaitan agama dan negara adalah ketika masa Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam (Rasulullah) hijrah dari mekah ke yastrib (yang sekarang kita kenal dengan madinah). Maka dari sinilah muncul suatu komunitas yang memiliki tujuan yang sama dari segi agama dan memiliki sifat kemajemukan. Lalu, setelah menetap di Madinah, Nabi kemudian merumuskan dan mengumumkan Piagam Madinah. Menurut para ahli politik, Piagam Madinah dipandang sebagai konstitusi atau undang-undang dasar negara bagi negara Madinah yang pertama yang didirikan oleh Nabi saw.
Isi pokok Piagam Madinah menggambarkan sifat kemajemukan sebagai suatu bangsa, bukan sebagai suatu negara yang berdasarkan agama tertentu. Hal ini dapat dilihat dari isi Piagam Madinah yang dinyatakan di antaranya; “Kaum Muslimin adalah umat yang bersatu utuh, mereka hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lain”, “Semua warga akan saling bahu-membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yastrib (Madinah)”, dan “Surat Perjanjian ini tidak mencegah (membela) orang yang berbuat aniaya dan dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada di Madinah maupun sedang berada di luar Madinah, kecuali berbuat aniaya dan dosa”(Munawir Sjadzali, Islam dan Hukum Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1990)
Prinsip hidup berbangsa dan bernegara yang dibangun Nabi saw tersebut memiliki sifat sederajat (egaliter), ketercakupan (inklusif), lebih dari satu (pluralis) dan aspiratif. Salah satu contoh prinsip tersebut digambarkan dalam penyusunan naskah Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah menerima masukan dan aspirasi dari utusan Qurasy, Suhail ibn Amr. Suhail memiliki kehendak politik yang kuat dengan kepentingan politiknya dan tidak mau kompromi dengan rumusan yang ditawarkan Nabi saw. Ringkasan yang digambarkan oleh Munawir Syadzali adalah, Suhail memberikan masukan sehingga terdapat perubahan kata – kata dari perjanjian tersebut, dan rasulullah sepakat dengan hal tersebut. karena tidak merubah inti dan tujuan rasul
Perjanjian Hudaibiyah tersebut menjadi peristiwa penting bahwa Nabi saw. memiliki sikap inklusif dan aspiratif dalam membangun naskah perjanjian tersebut. Walaupun ada upaya untuk menghapus simbol-simbol formal ketuhanan dan ke-Rasul-an dalam naskah tersebut, tetapi Nabi saw tetap menerimanya karena substansi norma agama Islam dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan sikapnya yang inklusif dan aspiratif tersebut, Nabi saw mampu membangun kesepakatan dengan orang-orang Qurasy Makkah, sehingga Nabi saw. dan para sahabatnya bisa melaksanakan ibadah umrah di Makkah pada tahun berikutnya(Ibid., h. 17-18). Sistem pemerintahan yang dibangun oleh rasulullah berlanjut kepada masa – masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali Radhiallahu’anhu.
Masuk ke pembahasan kita yaitu, Ketertarikan Pancasila terhadap agama Rahmatan lil’alamin
Dalam sejarah indonesia menyebutkan tentang hubungan antara agama dan negara dibagi menjadi 4 golongan :
- Golongan yang menyatukan agama dan negara. negara berjalan dengan optimal dan terus menerus yaitu pada masa pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Islam Perelak, dan Kerajaan Islam Samudera Pasai di Aceh. Dalam sistem ketatanegaraan tersebut, hukum negara menjadi hukum agama dan hukum agama juga menjadi hukum Negara. Dan sistem tersebut menjadikan kerajaan tersebut berjalan aman dan damai tanpa adanya konflik.
- golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara adalah sesuatu yang harus dipisahkan karena dalam hal itu dapat menyebabkan suatu konflik dan perpecahan. Peristiwa tersebut terjadi di Sumatera Barat, yaitu ketika Perang Padri, perang antara kaum agama yang ingin mendirikan konsep islam, dengan warga lokal yang menolak pemberlakukan norma tersbut.
- golongan yang membangun hubungan dengan gradasi dengan adanya keterkaitan antara agama dan negara. Norma-norma agama diberlakukan secara berangsur - angsur dalam sistem hukum nasional dan berjalan tanpa konflik sebagaimana sistem ketika ketatanegaraan pada Kerajaan Goa.
- golongan yang membangun hubungan antara kepercayaan terhadap pada budi pekerti, ritual agama dan negara. Norma-norma agama diberlakukan dalam tradisi ritual keagamaan oleh pemerintah sebagai simbol pengayoman kepada warganya, sehingga masyarakat merasa diayomi dengan kedatangan pemimpin, sebagaimana tradisi kerajaan Jawa.
Kekuatan politik agama sangat mendominasi ketika Bangsa Belanda menjajah Nusantara. Para ulama dan dai berjuang dengan membentuk organisasi keagamaan seperti Serikat Islam, Muhammadiyah, dan Nahdhatul Ulama. Usaha dari para ulama, dai, dan satri itupun berbuah hasil yaitu Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Pada awal – awal masa kemerdekaan, para tokoh nasionalis dan tokoh agama pun dihadapi dengan masa – masa genting, yaitu ketika pemahaman suatu pedoman masih memiliki definisi dan tafsir yang berbeda terhadap hubungan agama dan negara yang ideal. Maka saat itu sebagian berpendapat bahwa Piagam Jakarta-lah yang paling ideal untuk membuat pedoman suatu negara. Akan tetapi saat pengesahan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara terdapat perubahan dan penghapusan kata – kata. Walaupun terdapat penghapusan terhadap hal tersebut, KH. A. Wahid Hasyim selaku satu tim yang mengakomodir, menerima keputusan tersebut, karena dianggap tidak bertentangan dengan Konsep bernegara menurut islam. Maka keputusan yang diambil oleh KH. A. Wahid hasyim tersebut menjadi suatu pijakan seluruh sumber hukum dan ketatanegaraan bagi seluruh lapisan dan elemen masyarakat di Indonesia. Kejadian ini hampir sama seperti perjanjian Hudaibiyah pada zaman Rasulullah.
penyusunan naskah Perjanjian Hudaibiyah dan Piagam Madinah dimana Nabi saw mengambil kebijakan substantif, bukan formalistik. Walaupun simbol-simbol formal ketuhanan dan kerasulan dihapus dalam naskah perjanjian tersebut, tetapi Nabi saw tetap menerimanya karena inti dan tujuan agama dapat dijalankan sebagaimana mestinya, misalnya Nabi saw masih bisa menjalanan ibadah umrah di Makkah, memberikan perlindungan kepada semua warga dan memajukan kesejahteraannya.37 Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi bukti bahwa NKRI merupakan negara yang secara substansial memiliki kesamaan dengan negara bentukan Nabi saw sebagai negara religius. Demikian juga NKRI melarang adanya sikap anti Ketuhanan dan anti Keagamaan, tetapi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”. Dan di dalam pembukaan UUD 1945 tertulis “atas berkat Rahmat Allah yang maha kuasa, dan dengan di dorong oleh keinginan luhur..” membuktikan bahwa negara indonesia sangat berhubungan dengan agama islam yang memberi rahmat untuk seluruh alam.
Maka ulama terhadap keberadaan Pancasila sebagai ideologi negara didasari oleh fakta bahwa warga negara Indonesia bersifat majemuk, sehingga persatuan dalam keragaman merupakan darah daging. Oleh sebab itu para ulama dan tokoh nasional menjadikan budaya lokal dan kearifan lokal secara proporsional dalam kehidupan Indonesia menjadi pilihan tepat. Sehingga terciptalah Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945
Jayalah Indonesiaku, Bersatulah Negeriku
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H