Dalam sejarah indonesia menyebutkan tentang hubungan antara agama dan negara dibagi menjadi 4 golongan :
- Golongan yang menyatukan agama dan negara. negara berjalan dengan optimal dan terus menerus yaitu pada masa pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Islam Perelak, dan Kerajaan Islam Samudera Pasai di Aceh. Dalam sistem ketatanegaraan tersebut, hukum negara menjadi hukum agama dan hukum agama juga menjadi hukum Negara. Dan sistem tersebut menjadikan kerajaan tersebut berjalan aman dan damai tanpa adanya konflik.
- golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara adalah sesuatu yang harus dipisahkan karena dalam hal itu dapat menyebabkan suatu konflik dan perpecahan. Peristiwa tersebut terjadi di Sumatera Barat, yaitu ketika Perang Padri, perang antara kaum agama yang ingin mendirikan konsep islam, dengan warga lokal yang menolak pemberlakukan norma tersbut.
- golongan yang membangun hubungan dengan gradasi dengan adanya keterkaitan antara agama dan negara. Norma-norma agama diberlakukan secara berangsur - angsur dalam sistem hukum nasional dan berjalan tanpa konflik sebagaimana sistem ketika ketatanegaraan pada Kerajaan Goa.
- golongan yang membangun hubungan antara kepercayaan terhadap pada budi pekerti, ritual agama dan negara. Norma-norma agama diberlakukan dalam tradisi ritual keagamaan oleh pemerintah sebagai simbol pengayoman kepada warganya, sehingga masyarakat merasa diayomi dengan kedatangan pemimpin, sebagaimana tradisi kerajaan Jawa.
Kekuatan politik agama sangat mendominasi ketika Bangsa Belanda menjajah Nusantara. Para ulama dan dai berjuang dengan membentuk organisasi keagamaan seperti Serikat Islam, Muhammadiyah, dan Nahdhatul Ulama. Usaha dari para ulama, dai, dan satri itupun berbuah hasil yaitu Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Pada awal – awal masa kemerdekaan, para tokoh nasionalis dan tokoh agama pun dihadapi dengan masa – masa genting, yaitu ketika pemahaman suatu pedoman masih memiliki definisi dan tafsir yang berbeda terhadap hubungan agama dan negara yang ideal. Maka saat itu sebagian berpendapat bahwa Piagam Jakarta-lah yang paling ideal untuk membuat pedoman suatu negara. Akan tetapi saat pengesahan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara terdapat perubahan dan penghapusan kata – kata. Walaupun terdapat penghapusan terhadap hal tersebut, KH. A. Wahid Hasyim selaku satu tim yang mengakomodir, menerima keputusan tersebut, karena dianggap tidak bertentangan dengan Konsep bernegara menurut islam. Maka keputusan yang diambil oleh KH. A. Wahid hasyim tersebut menjadi suatu pijakan seluruh sumber hukum dan ketatanegaraan bagi seluruh lapisan dan elemen masyarakat di Indonesia. Kejadian ini hampir sama seperti perjanjian Hudaibiyah pada zaman Rasulullah.
penyusunan naskah Perjanjian Hudaibiyah dan Piagam Madinah dimana Nabi saw mengambil kebijakan substantif, bukan formalistik. Walaupun simbol-simbol formal ketuhanan dan kerasulan dihapus dalam naskah perjanjian tersebut, tetapi Nabi saw tetap menerimanya karena inti dan tujuan agama dapat dijalankan sebagaimana mestinya, misalnya Nabi saw masih bisa menjalanan ibadah umrah di Makkah, memberikan perlindungan kepada semua warga dan memajukan kesejahteraannya.37 Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi bukti bahwa NKRI merupakan negara yang secara substansial memiliki kesamaan dengan negara bentukan Nabi saw sebagai negara religius. Demikian juga NKRI melarang adanya sikap anti Ketuhanan dan anti Keagamaan, tetapi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”. Dan di dalam pembukaan UUD 1945 tertulis “atas berkat Rahmat Allah yang maha kuasa, dan dengan di dorong oleh keinginan luhur..” membuktikan bahwa negara indonesia sangat berhubungan dengan agama islam yang memberi rahmat untuk seluruh alam.
Maka ulama terhadap keberadaan Pancasila sebagai ideologi negara didasari oleh fakta bahwa warga negara Indonesia bersifat majemuk, sehingga persatuan dalam keragaman merupakan darah daging. Oleh sebab itu para ulama dan tokoh nasional menjadikan budaya lokal dan kearifan lokal secara proporsional dalam kehidupan Indonesia menjadi pilihan tepat. Sehingga terciptalah Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945
Jayalah Indonesiaku, Bersatulah Negeriku
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H