Telah berhari-hari kau mengunci diri dalam ruang hampa, bahkan sinar mentari pagi pun tak kau izinkan datang menyapa, hanya suara riuh rendah burung gereja yang setia menemani, matamu sembab dan air matamu pun tak pernah berhenti meneriakan isi hati, beberapa kali kau seka namun tetap tak mengering jua. Andaikan kau mempunyai kuasa untuk memutar waktu, mungkin kau takan mau mengulangi saat-saat itu, semua yang kau bangun serasa hancur rata seperti dedaunan yang berguguran di musim semi, berjatuhan memeluk bumi.
Ketika waktu yang kau perjuangkan, ketika tujuan yang kau harapkan, semua tak sejalan dengan kenyataan, disaat itulah kau merasakan betapa dekatnya keputusasaan. Namun waktu akan tetap berjalan, walaupun meninggalkan guratan, luka itu takan akan pernah bisa kau lupa, bahkan akan selalu kau pelihara, terlalu dalam hingga kau lupa cara berbahagia. Hari demi hari kau lalui seperti berlari diatas bara api tanpa beralas kaki.
Kesendirianmu seakan mengantarkan diri terdampar kesuatu pulau tak berpenghuni, sunyi dan sepi selalu menemani, karena memang itu yang kau cari, walau terkadang sesekali kau mencoba berlari mengitari sebatas melewati hari, tahun berjalan dan kau tetap bertahan.
Entah kenapa, kabar pulau yang kau huni terdengar hingga penjuru bumi, tak sengaja terbawa oleh teriakan segerombolan burung camar yang sedang bermigrasi. Tak sedikit nahkoda kapal yang akan datang untuk menepi.
Lambat laun datanglah kapal pertama mencoba menghampiri, kapal pesiar besar dengan hingar bingar, seakan mengajakmu menikmati surga duniawi, mengarungi samudra lepas tanpa perlu merasakan terjangan ombak menghempas, namun kapal ini terlalu besar untuk menepi, dan kaupun terlalu enggan terlebih dulu bersekoci, karena kau tahu betul yang kau cari hanyalah sunyi, dan ia pun akhirnya berlalu pergi.
Kapal kedua datang dengan tipe ekspedisi, tak besar sehingga bisa bersandar, sengaja menepi karena mencari teman bernavigasi, bukan karena dia tidak tahu arah destinasi, ia menawarkan hari, membunuh sepi diruang kemudi, namun kau berpikir ia nahkoda yang tak ahli dan tak bervisi. Dan kau pun enggan beranjak pergi menemani, karena kau tahu betul yang cari hanyalah sunyi, ia pun pergi dan tak akan kembali.
Sunyi yang kau cari akhirnya setia menemani, ketika kau sudah lelah berlari melewati hari, tak satupun yang hadir mengusir sepi. Kau mencoba mencari dan pergi meninggalkan pulau yang tak berpenghuni, karena kau sadar pulaumu semakin lama semakin tidak alami. Diakhir upayamu menunggu, datanglah perahu kayu dengan pria tua yang lelah mengayu’, dan dia berkata “perkenalkan,namaku waktu”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H