Perempuan dalam tubuh NU (Nahdlatul Ulama) sejak dahulu memiliki peran dan manifestasi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kelompok perempuan ini melebur menjadi NUM (Nahdlatul Ulama Muslimat) yang bersifat otonom. Mereka telah melakukan gerakan kolektif dan kolaboratif mengupayakan hak-hak perempuan. Tidak terlepas dari perempuan NU, Korps PMII Putri (25 November 1967, Semarang) hadir dengan tekad yang sama.
Korps PMII Putri diabreviasi dengan istilah KOPRI. Merupakan bagian dari komunitas perempuan NU dalam skala mahasiswa atau pemudi NU. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, kehadiran KOPRI selalu mengalami problematis baik dalam arus gerakan perempuan dan warna ideologisnya. Ada banyak pertanyaan yang mencuak dari kader PMII bahkan KOPRI itu sendiri perihal Apa dan Bagaimana ciri khas gerakan KOPRI ?.
Dewasa ini, identitas gerakan KOPRI senantiasa alot diperbincangkan. Seraya tulisan ini akan lebih melayankan sebuah pemikiran narasi gerakan KOPRI, yakni Feminisme perspektif Aswaja. Maka KOPRI akan mengalami diferensiasi dengan gerakan kelompok perempuan lainnya. Di mana tugas KOPRI adalah merekognisi pengharmonisan antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan Ahlu Sunnah Wal-Jamaah An-Nahdliyah perkara hak-hak dan kewajiban perempuan. Â
Istilah Feminis merupakan kata yang selalu inheren dengan perkembangan gerakan perempuan Eropa atau diistimbatkan ala Barat. Selain itu, kalangan mayoritas NU masih geli dan sensitif ketika term ini menembus pendengaran mereka. Â Sedangkan ada kaidah "Al-Muhafadzah ala al-Qodim al-Shaleh wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah" sebagai dasar manhaj kuat kalangan warga NU, dan bahkan kalangan umum jika mnghadapi benturan antar perihal lazim yang telah menjadi historis masa lampau mereka dengan kontestasi pembaharuan yang seketika menuntut transformasi perubahan. Dalam kondisi demikain, selayaknnya persoalan term ini tidak lagi menjadi sebuah konflik di internal NU dan PMII. Terlebih kepada persoalan ke mana arah gerakan KOPRI.
Lalu Mengapa harus kata Feminis? Sebab, belum adanya term yang begitu pas untuk mewakili perjuangan kesetaraan dan keadilan perempuan. Didukung juga oleh penjabaran para pakar bahasa Arab yang telah mendefinisikan feminisme : untsawiyah/nisawiyah selaku "Al-majmuah al-mukhtalifah min al-nadhariyat al-ijtimai'yah wal harakah al-sisayah wal falsafah al-akhlaqiyah allati tuharrikuha dawafi' mutaaliqah bi qadhaya al-mar'ah, yakni teori-teori sosial, gerakan politik, dan filsafat etika yang digerakkan oleh tujuan-tujuan yang berkaitan-erat dengan isu-isu perempuan. Ringkasnya, feminisme merupakan gerakan perlawanan atas segala wujud diskriminasi di mana perempuan menjadi sasarannya.
Dapat dilihat dari hermeneutik kata Feminisme yang memiliki keselarasan dengan nilai-nilai Aswaja An-nahdliyah secara aqidah, fikroh , amaliyah, dan harakahnya menuju Mabadi' Khaira Ummah (upaya terbentuknya tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik, mandiri, serta mampu menuntaskan tugas-tugas amar ma'ruf nahi munkar) yang tidak jauh dari entitas gerakan spiritualitas pembebasan manusia.
Hal ini menjadi sebuah landasan KOPRI untuk menjalankan misi memperjuangankan kesetaraan perempuan. Dengan kesadaran KOPRI, hadirnya reformulasi doktrin teologis (doktrin tauhid, doktrin keadilan sosial, dan doktrin pembebasan) dalam kerangka paradigma transformatif yang berpihak terhadap mustadha'fin (orang-orang tertindas).
Yang perlu didekonstruksi oleh warga PMII
Pemahaman Doktrin Tauhid yang telah terdegradasi oleh tatanan reproduksi sosial budaya patriarki dengan mengidentifikasi bahwa struktur sistem kehidupan manusia (ada penindas-ditindas/dilayani-melayani, dsb) terjadi atas kehendak Tuhan. Padahal, ada tangan manusia turut mengaktualisasikan sistem dan struktur tersebut sehingga menjadi suatu kebenaran hakiki. Maka doktrin tauhid harus dipahami dengan konsep unity of godhead(kesatuan ketuhanan) sebagaimana terbangunnya keyakinan dan kesadaran tauhid manusia atas penolakan seluruh bentuk diskriminasi, penindasan serta sejenisnya terhadap sesama ciptaan-Nya.
Selanjutnya, Doktrin Keadilan Sosial yang erat kaitannya dengan kerangka sosiologis serta kontribusi proses terjadinya sejarah manusia. Bahwa ketidakadilan sosial adalah manifesto dari sebuah proses sosial yang menjadi historis permanen manusia. Hal ini bukan ada benar atau salah dari konstruksi mentalitas manusia, melainkan akibat langsung dari sistem kerangka pembangunanisme-kapitalisme yang potensial mendiskriminasi. Di mana kerangka sosiologis tersebut menjadi rumusan realitas dalam konteks penindasan yang terwujud pada kesadaran manusia. Sejatinya, manusia adalah faktor penentu atas tercipta-tidaknya perubahan baik yang diharapkan. Sebab upaya perbaikan itu merupakan sinkronisasi dalam dirinya selaku wakil Tuhan di bumi.
Terakhir,  Doktrin Pembebasan merupakan pembebasan kekuatan  spiritualitas yang mendorong manusia untuk bebas dari struktur hegemoni sistem sosial (ekonomi, politik, sosial, dan lainnya) yang eksploitatif dan tidak berkeadilan gender.  Di lain sisi, upaya membebaskan manusia dari teks naskh, produk pemikiran keagamaan ataupun bukan, yang dapat pembekukan dalam paham mainstream. Di mana, nalar kritis akal dibungkam akan dogma. Secara teologis kebenaran Tuhan memang absolut adanya, namun ketika ia diturunkan kepada manusia, maka seketika itu juga ia berubah menjadi kebenaran-kebenaran subjektif. Dari sini, spiritualitas pembebasan senantiasa harus terawat untuk mengambil tempat dalam proses kontektualisasi teks atas konteks dengan melakukan dekonstruksi, rekonstruksi dan reformulasi.