Biografi Singkat
 Pada dasarnya sejarah adalah hubungan antarbiografi yang melewati atau menembus batas waktu. Membicarakan Ki Hajar Dewantara (KHD), hal ini berarti memahami relasinya dengan tokoh-tokoh sejarah yang sezaman khususnya di bidang politik, meski bidang-bidang lain tidak dapat ditinggalkan.Â
Sebaran spasialnya tentunya seluruh nusantara dan lingkup temporalnya mencakup periode pemerintahan penjajahan Belanda di Indonesia pada akhir abad XIX sampai dengan pertengahan abad XX. KHD lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta dengan nama RM Soewardi Soerjaningrat (SS), putra GPH Soerjaningrat, atau cucu Sri Paku Alam III. Dari genealoginya SS adalah keluarga bangsawan Pakualaman.Â
Sebagai bangsawan Jawa, SS mengenyam pendidikan ELS (Europeesche Lagere School) -- Sekolah Rendah untuk Anak-anak Eropa. Kemudian SS mendapat kesempatan masuk STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen) biasa disebut Sekolah Dokter Jawa. Namun karena kondisi kesehatannya tidak mengizinkan sehingga SS tidak tamat dari sekolah ini.
Munculnya Pemikiran Politik
Kemajuan dan Kesetaraan Salah satu bagian penting politik kolonial yang dipertahankan di koloni adalah politik diskriminasi yang membedakan kedudukan dan peran antara penjajah dan terjajah. Diskriminasi itu dipertahankan untuk mendukung kedudukan dan peran sosial-politik kolonial yang menghegemoni semua bidang kehidupan kolonial (Ki Hajar Dewantara, 1952: 108- 104; Sartono Kartodirdjo, 1967).Â
Pemerintah kolonial yang diidentifikasikan sebagai penguasa otomatis mempunyai kedudukan yang jauh lebih tinggi daripada orang bumiputera baik secara material dan spiritual. Hal-hal inilah yang mendukung perasaan superioritas sebagai penjajah, pemerintah kolonial berhak mengatur inferoritas bumiputra. Yang dimaksud dengan pemikiran politik adalah usaha KHD untuk mendapatkan sesuatu yang oleh pemerintah kolonial dipertahankan. Oleh karena itu pemikiran politik KHD dilakukan dengan multifaset, bukan hanya bidang politik melulu tetapi juga sosial dan kultural.Â
Diskriminasi menengarai perbedaan fisik dan kultural. Mereka merasa sebagai bangsa yang memiliki ras Arya yang mempunyai peradaban tinggi di Eropa dibawa sampai ke koloni. Sebagai ras yang hebat dan kuat mampu menaklukkan lautan luas dan menjajah serta menguasai bumiputera yang lebih rendah peradabannya.Â
Orang-orang bumiputera yang berperadaban rendah harus diadabkan. Oleh karena itu, kolonialisme sering berkedok mengadabkan bangsa lain meski sebenarnya berisi pemerasan, pembedaan, dan penguasaan. Meski demikian bangsa Barat termasuk Belanda bersiteguh mengatakan perlawatannya ke dunia Timur merupakan mission sacre alias tugas suci untuk mengadabkan bangsa-bangsa Timur termasuk Indonesia.Â
Ada sekian banyak dalih untuk melegalkan tindakannya di dunia Timur, yaitu dengan menyebutnya white man's burden, yang tidak lain sepertinya itu semua merupakan tugas atau beban orang bule di dunia Timur (Sartono Kartodirdjo,1967). Memang sangat luar biasa mengemas kepentingannya rapi dengan istilah yang memiliki rasa perikemanusiaan yang sangat tinggi. Namun, prakteknya di koloni jauh panggang dari api. Pemerintah kolonial dengan aparat kolonialnya berperilaku menyimpang dari cita-cita awal untuk mengadabkan bangsa Timur.Â
Praktek-praktek diskriminasi, kekerasan, penekanan, kecurangan, korupsi dan sejenisnya sangat tidak mengenakkan perasaan orang bumiputra. Ketidakpuasan menyelimuti semua perasaan etnik-etnik di koloni yang menginginkan kehidupan setara antara penjajah dan terjajah baik sosial maupun politik (Suwardi Suryaningrat, 1918).
Daftar pustaka;
Suhartono Wiryopranoto Prof. Dr. Nina Herlina, M. S, Prof. Dr. Djoko Marihandono, Dr. Yuda B Tangkilisan Tim Museum Kebangkitan Nasional.2017.PERJUANGAN KI HAJAR DEWANTARA : DARI POLITIK KE PENDIDIKAN Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan KebudayaanÂ
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H