Kesultanan Peureulak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang sela tahun 840 sampai dengan tahun 1292. Perlak atau Peureulak terkenal sbg suatu kawasan penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus sbg pembuatan kapal, dan karenanya kawasan ini dikenal dengan nama Negeri Perlak.Â
Hasil lingkungan kehidupan dan posisinya yang strategis membuat Perlak mengembang sbg pelabuhan niaga yang maju pada seratus tahun ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang diantaranya berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat mengembangnya warga Islam di kawasan ini, terutama sbg dampak perkawinan campur sela saudagar muslim dengan perempuan setempat.Â
Hikayat Aceh
Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di anggota utara Sumatera dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan yang sudah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 H atau 1211 M.[1]
Buku Zhufan Zhi (諸蕃志), yang ditulis Zhao Rugua tahun 1225, mengutip catatan seorang mahir geografi, Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa telah tersedia negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa.[2] Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, karena Chu-fan-chi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu seratus tahun yang belakang sekali. Ketika Marco Polo pulang dari Cina melewati laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam.[3]
Perkembangan dan pergolakan
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan adalah keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang membangun Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Beliau mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, yang belakang sekali dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.[4]
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, arus Sunni mulai masuk ke Perlak. Sesudah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara sela kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak telah tersedia sultan.
Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915Â M), Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari arus Syiah naik tahta. Pada belakang pemerintahannya terjadi lagi pergolakan sela kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.
Pada tahun 362 H (956Â M), sesudah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang semakin empat tahun sela Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:
- Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988)
- Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya sampai tahun 1006.